Tampilkan postingan dengan label kebutuhan khusus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebutuhan khusus. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 April 2017

Skizofrenia


ditulis oleh
Widad Zahra Adiba
Mahasiswa Psikologi Universitas Johannes-Gutenberg Mainz, Jerman
yang saat ini sedang internship di Klinik Pelangi


“Skizofrenia  adalah penyakit mental yang ditandai dengan adanya delusi dan halusinasi.  Penyebabnya bisa dari genetik dan bisa diperkuat dari faktor lingkungan  juga . Jenis dari Skizo berbagai macam seperti skizo paranoid dan skizo afektif , yaitu skizofrenia yang dibarengi dengan episode-episode , misalnya terjadi dua minggu sekali danterjadi hanya dalam beberapa waktu. 

Ciri-ciri penderita skizo adalah muncul delusi dan halusinasi selama 6 bulan konsisten. Delusi yang berbagai macam jenisnya seperti  contoh di kejar-kejar merasa bahwa dia orang penting dan  delusi tersebut biasanya terkait dengan kondisi-kondisi yang dia hadapai seperti  contoh diatas penderita yang merasa ia selalu  diawasi , contoh lain yang umum yaitu  penderita tidak mendapat perhatian dari keluarga atau mendapatkan perhatian tapi dengan cara yang salah , ia diatur sedemikian rupa, sehingga dia merasa terkekang dengan lingkungannya.  

Sedangkan halusinasi yaitu bisa mendengarkan suara atau merasakan  hal-hal yang sebenarnya tidak nyata, seperti contoh mendengar suara bom padahal orang normal tidak bisa mendengar sama sekali . Penderita skizo susah untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang bayangannya.

Skizofrenia bisa diobati dengan pemberian obat penghilang halusinasi dan memang harus dikontrol  skala berkala oleh psikolog atau psikiatri hingga sembuh total”, jelas Irene Raflesia, M.Psi,Psikolog Klinis dewasa di Klinik Pelangi
 

Sabtu, 01 April 2017

Pentingnya Mengajarkan Toleransi dan Mengenalkan Anak tentang Keberagaman Sejak Dini

ditulis oleh  
Widad Zahra Adiba
Mahasiswa Psikologi Universitas Johannes-Gutenberg Mainz, Jerman
yang saat ini sedang internship di Klinik Pelangi

Sudah banyak sekali contoh yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari dan di seluruh belahan dunia tentang semakin menipisnya nilai toleransi. Seperti halnya  di Amerika serikat, ada ketidaksetaraan terhadap masyarakat kulit hitam sejak dulu, kemudian saat ini muncul beberapa kebijakan yang tidak ramah terhadap imigran. Di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Mesir memberikan kelompok pria quota yang lebih besar dibandingkan perempuan untuk mengakses ruang publik dan bidang profesional. Contoh lainnya di Indonesia semasa proses kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta yang sempat diwarnai oleh isu SARA serta turut menimbulkan percekcokan di berbagai kalangan.

Yang memprihatinkan adalah nasib generasi muda bangsa kita, dikhawatirkan mengikuti arus zaman yang semakin lama semakin kehilangan makna toleransi antarsesama. Padahal toleransi sangat penting untuk diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari agar dapat mudah menerima perbedaan tanpa menghakimi satu sama lain yang nantinya bisa menimbulkan masalah-masalah baru. Seperti yang dialami oleh penulis sendiri, yang adalah seorang Mahasiswa Indonesia yang sekarang kuliah dan hidup di Jerman. Di sana, baik itu di Universitas, di tempat kerja sambilan, di lingkungan tempat tinggal, dan lainnya kita pasti bertemu dengan teman-teman baru dari cakupan internasional. Tidak hanya yang berasal dari Jerman saja, banyak juga yang datang dari negara lain, seperti Amerika, Jepang, Brazil, Albania, Ekuador, Korea, dan masih banyak lagi dengan latar belakang yang berbeda. Untuk dapat berbaur dan bekerja sama, kita perlu terbuka dan menerima perbedaan tersebut. Dengan adanya toleransi, pikiran terbuka, dan saling menghargailah yang membuat kita semua berteman.

Banyak orang tua di Indonesia yang memilih menyekolahkan anak di sekolah yang homogen, seperti sekolah berbasis agama, dengan berbagai tujuan. Hal ini tidaklah salah, melainkan pengelompokan pada suatu kelompok tertentu yang terkadang membuat sulit untuk mengenalkan anak bahwa sebenarnya Indonesia adalah negara yang sangat beragam, dari segi  agama, budaya, bahasa daerah, suku, ras  dan lainnya.
“Kita perlu memperkenalkan kepada anak-anak kita bahwa dari lingkungan yang homogen masih ada lagi lingkungan lain di luar sana yang beragam. Sebenarnya Indonesia adalah lingkungan yang heterogen, beragam budaya, suku, agama, dan ras. Tetapi sangat disayangkan saat ini karena pengaruh budaya luar yang lebih kuat daya tariknya, banyak yang melupakan budaya Indonesia sendiri”, ungkap Masniarita Siburian Silalahi, atau yang biasa disapa Rita, pengelola dan pendiri Indonesian Cultural Adventure (ICA), lulusan dari Anglia Ruskin University Cambridge Inggris. Menurut Rita, makna toleransi adalah kita bisa menerima sesama kita, bisa menerima perbedaan. Kita adalah sama-sama manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan menciptakan kita seorangpun tidak ada yang sama, jadi kita harus selalu menghargai dan menerima satu sama lain. Lewat  program-program ICA, Rita biasanya mengajarkan anak-anak tentang toleransi dan keberagaman dengan cara yang asyik dan fun sehingga dapat lebih mudah diterima oleh anak anak. Seperti melakukan perjalanan ke kota-kota yang ada di Indonesia, yaitu Padang, Solo, Bogor, dan lainnya. Di sana anak-anak bisa belajar langsung tentang kebudayaan dari kota tersebut. Waktu yang lalu ICA dalam programnya yang bernama ‘Jejak Pluralisme Jakarta’ mengunjungi Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, dan Wihara. Di sana  anak-anak belajar banyak tentang pluralisme.

“Perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, karena setiap orang tentunya berbeda-beda. Anak kembar sekalipun pasti berbeda, dari sifat, kebiasaan, sampai kepribadiannya. Ketika kita hidup bermasyarakat, kita perlu mengembangkan sikap toleransi agar kita dapat menghargai orang lain yang berbeda dari kita, seperti perbedaan pendapat, perilaku, kebiasaan, karakter, dan lain-lain”, jelas Reneta Kristiani M.Psi., seorang Psikolog Klinis Anak dari Klinik Pelangi di Kota Wisata, Cibubur mengenai pengertian toleransi. Psikolog yang biasa disapa Neta ini menjelaskan bahwa setiap orang itu diciptakan Tuhan unik dengan perbedaan masing-masing. Oleh karena itu, perbedaan sebaiknya bukan menjadi sumber konflik atau suatu bahan cemoohan atau ejekan, tetapi justru dengan perbedaan itu sendiri dunia menjadi kaya akan keberagaman, indah, dan tidak membosankan”. Sangat penting mengajarkan toleransi kepada anak agar anak bisa menghargai orang lain yang berbeda darinya. Berikut tips-tips yang bisa dilakukan orang tua di rumah untuk mengajarkan anak tentang toleransi dan mengenalkan pada keberagaman :

   1. Mengenalkan perbedaan dari lingkungan terkecil
psikologneta“Toleransi bisa diajarkan kepada anak mulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga.  Dari keluarga anak bisa mulai mempelajari bahwa dirinya berbeda dari saudara  dan orang tuanya sendiri, meskipun mirip tetapi pasti ada hal yang berbeda dari ciri fisik, seperti jenis rambut, warna kulit, bentuk mata, hidung, telinga, bibir, dsb. Kemudian perbedaan sifat, perilaku, hobi, kebiasaan sampai karakter dan kepribadian. Sebagai contoh perbedaan hobi, kakak suka bermain permainan yang membutuhkan motorik kasar, seperti lompat tali, bermain bola, bersepeda, sedangkan adik lebih suka bermain lego, mobil-mobilan, mewarnai yang lebih mengandalkan keterampilan motorik halus. Dari contoh perbedaan tersebut, orang tua perlu mengajarkan anak bahwa perbedaan itu unik dan kita sepatutnya menerima perbedaan tersebut”, tutur psikolog Neta.
  1. Belajar menghargai pendapat orang lain
Seringkali kita temukan dalam keluarga adanya perbedaan pendapat. Contoh kecil adalah adik ingin makan di restoran A, tetapi kakak ingin makan di restoran B. Orang tua sebaiknya menengahi dan memberikan solusi agar anak bisa belajar untuk menghargai perbedaan pendapat tersebut dan berdiskusi untuk mencapai kesepakatan. Misalnya, minggu ini makan di restoran A terlebih dahulu dan minggu depan makan di restoran B sehingga anak terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya dan juga menghargai pendapat orang lain yang berbeda darinya serta dapat menyelesaikan masalah dengan bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
  1. Mengajarkan anak untuk saling berbagi
Jika anak sejak dini sudah diajarkan untuk saling berbagi, kelak dewasa nanti akan menjadi terbiasa untuk berbagi tanpa memilih-milih dan membeda-bedakan orang lain. Anak perlu diperkenalkan dengan berbagai komunitas yang berbeda dengannya, misalnya belajar berbagi dengan anak-anak lain di Panti Asuhan.
  1. Mengajarkan anak untuk bermain dengan siapa saja
Setelah lingkungan keluarga, sekolah adalah lingkungan kedua yang ditemui anak. Di sekolah tentunya anak akan menemui teman yang berbeda dari dirinya, karena teman-teman tersebut dibesarkan di lingkungan keluarga yang berbeda darinya. Walaupun di dalam sekolah homogen sekalipun, pasti tetap saja ada perbedaan, seperti fisik, kebiasaan, pola asuh keluarga, dsb. Sebaiknya orang tua jangan bosan-bosan mengajak anak berbicara dan bertanya mengenai siapa saja teman bermainnya. “Tekankan kepada anak untuk bermain dengan siapa saja, tidak memilih-milih teman bermain dan tidak membeda-bedakan. Memberikan anak-anak kesempatan bermain dengan tetangga yang beraneka ragam juga sangat disarankan”, ungkap Rita.
  1. Berkumpul dengan keluarga besar
“Ajak anak berkumpul bersama keluarga besar, sehingga anak dapat lebih mengenal keluarga besar dan perbedaan karakter masing-masing orang dalam keluarga besar” tutur Rita.
  1. Ajarkan anak untuk fleksibel
“Selain itu, fleksibilitas sangat penting agar anak dapat menerima perbedaan dan juga belajar bermasyarakat, karena di masyarakat kita tidak bisa memaksakan pandangan orang lain harus sama dengan pandangan yang kita miliki. Kita justru harus terbuka, open mind untuk bisa beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda.Jika anak kita sudah besar dan akan kuliah di luar kota, anak tentu harus belajar beradaptasi di lingkungan setempat. Belum lagi jika harus kuliah keluar negeri yang nantinya perlu belajar mengenal perbedaan di luar negeri, misalnya mengetahui adat istiadat dan budaya masyarakat setempat serta berbagai peraturan di negara tersebut. Oleh sebab itu, untuk mencegah culture shock (gegar budaya), anak perlu belajar beradaptasi dan bertoleransi menerima perbedaan yang ada”, jelas psikolog Neta.
  1. Mengajarkan anak tentang toleransi lewat dongeng, buku cerita atau film
Jika anak sudah agak besar, anak bisa diajak berdiskusi lewat film-film yang mengandung  unsur toleransi, seperti  film Zootopia. Film itu mengajarkan tentang perbedaan dan pentingnya untuk tidak menilai orang sesuai dengan ras-nya (stereotype). Contohnya kelinci yang dianggap sebagai makhluk yang lemah, justru di d alam film ini kelinci digambarkan sebagai sosok yang gesit dan dapat menjadi seorang polisi hebat yang melawan penjahat. Demikian juga dengan rubah yang dicap (labelling) sebagai binatang yang licik. Padahal tokoh rubah dalam film ini ingin dapat berbuat baik. Akibatnya karena merasa tidak dipercaya oleh lingkungan sekitarnya, ia pun berperilaku sesuai dengan apa yang dicap orang lain, menipu orang lain. Dari film tersebut tekankan kepada anak bahwa berteman itu tidak boleh melihat orang dari luarnya saja atau dari stereotype orang- orang. “Penting untuk tidak saling mengejek atau melabel seseorang dari ciri fisik tertentu, ras, suku ataupun agama. Ajarkan kepada anak bahwa yang terpenting adalah hati dan prestasinya, bukan dari atribut yang sudah terberi sejak lahir (seperti ciri fisik, warna kulit, dll)”, jelas psikolog Neta. Selain itu, buku-buku cerita tentang kebudayaan juga bisa menjadi sarana untuk memperkenalkan anak pada keberagaman dan toleransi, contohnya buku dongeng berjudul ‘Ya, Kami Berbeda’ , ‘Ketika DamDam Kehilangan Wajahnya’, ‘Barongan Kecil’, ‘The Ugly Duck‘, dsb.

  8. Mengajarkan anak untuk menerima diri apa adanya
Banyak iklan-iklan yang mengubah image orang lain terhadap dirinya sendiri, seperti iklan kecantikan memberikan image bahwa cantik itu harus berkulit putih, berambut panjang dan langsing, sehingga anak menjadi kurang percaya diri jika dirinya tidak sama dengan image yang diberikan oleh iklan tersebut. Padahal sebenarnya standard kecantikan itu berbeda-beda. Penting bagi anak untuk menerima dirinya apa adanya dan tidak terpengaruh iklan. Ajarkan anak untuk menghargai diri sendiri agar dapat terbentuk konsep diri yang baik sehingga anak tidak membeda-bedakan orang lain dan mengejek orang lain hanya karena ciri fisiknya yang berbeda.

 9. Doronglah anak supaya bergaul, tidak hanya sibuk belajar di sekolah
Jika anak sudah mulai beranjak remaja, ajak anak untuk ikut aktif dalam kegiatan berorganisasi. Karena dari pergaulan tersebut, anak bisa mengenali karakter orang lain dan belajar untuk menerima perbedaan, kelemahan dan kelebihan teman-temannya. Jika anak dari kecil susah bergaul, nanti saat dewasa kelak dikhawatirkan tidak bisa menerima perbedaan orang di lingkungannya, merasa dirinya paling benar, egois  dan tertutup.

Narasumber :
  1. Masniarita Siburian Silalahi (Rita), pengelola dan pendiri ICA (Indonesian Cultural Adventure) http://www.cultureofindonesia.info/
  2. Reneta Kristiani, M.Psi. (Psikolog Neta), Psikolog Klinis Anak di Klinik Pelangi http://klinikpelangi.com

Sumber Referensi :
http://print.kompas.com/baca/sosok/2017/02/03/Menyemai-Cinta-pada Keberagaman
http://kompasprint.com/vod/ungkidanrita
http://www.cultureofindonesia.info/

Contoh Buku Mengenal Keberagaman :


Kamis, 28 Juli 2016

EDITING & REVISI TULISAN

EDITING & REVISI
Moidina Sihite ( Penulis Buku Anak)
Workshop “Menulis Itu Mudah”  yang diselenggarakan oleh Klinik Pelangi Cibubur
24 Juli 2016 di Atrium Mal Ciputra Cibubur


Tugas Editor
       Merencanakan naskah.
       Mencari naskah yang akan diterbitkan.
       Mempertimbangkan naskah yang masuk ke penerbit.
       Menyunting naskah dari segi isi/materi.
       Memberi petunjuk /arahan dalam mengedit.
Kode etik penyunting naskah
       Penyunting naskah wajib mencari informasi mengenai penulis naskah sebelum memulai menyunting naskah.
       Penyunting naskah bukan lah penulis naskah.
       Penyunting naskah wajib menghormati gaya penulis naskah.
       Penyunting naskah wajib merahasiakan informasi yang terdapat dalam naskah yang disuntingnya.
       Penyunting naskah wajib mengkonsultasikan hal-hal yang mungkin akan diubahnya dalam naskah.
       Penyunting naskah tidakboleh menghilangkan naskah yang akan, sedang atau telah disuntingnya.
        
Penyuntingan Naskah
       Tatabahasa
       Kebenaran Fakta
       Legalitas
       Konsistensi
       Gaya tulisan penulis
       Gaya penyunting naskah
       Gaya penerbit
Revisi
       Professor Maggie Sokolik
       “Revisi itu menunjuk pada memperbaiki tulisan atau teks dalam konteks secara substansi”

      Revisi itu istilahnya memperbaiki isi tulisan. Sudah sesuaikah dengan ide awal penulisan atau sudah sesuaikah dengan target pembaca yang diinginkan, bagaimana diksinya, dan begitu seterusnya.




Senin, 06 Juni 2016

BERMAIN PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DENGAN METODE FLOORTIME



Ditulis oleh Natalia, M.Psi, Psikolog Anak
Klinik Psikologi Pelangi

Floortime adalah sebuah pendekatan yang diciptakan oleh  Stanley I. Greenspan dan Serena Wieder, yakni teknik bermain antara orangtua dan anak yang berfokus pada dua hal, yakni :
  1. Orangtua mengikuti arahan, ide, dan kesukaan anak. Tujuan dari mengikuti arahan anak adalah kita sebagai orangtua mencoba untuk masuk ke ‘dunia’ anak, melihat apa yang dipikirkan/ dirasakan anak, apa kesukaan anak dan apa saja yang dianggap penting oleh anak.
  2. Setelah mengikuti arahan anak, secara perlahan orangtua mulai memberikan tantangan untuk meningkatkan potensi anak. Tantangan ini dimaksudkan agar anak-anak bisa lebih mengembangkan minat, kepribadian, dan potensi lain dalam dirinya.
Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip utama floortime adalah mencoba memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul untuk berinteraksi dengan cara yang disesuaikan dengan tahap perkembangan emosinya. Ada enam tahapan perkembangan emosi harus dilalui seorang anak untuk mencapai kemampuan komunikasi, berpikir dan membentuk konsep diri.
Tahap Perkembangan Emosi Anak
Tujuan utama floortime (Greenspan, 2006:168) adalah tercapainya keenam hal tersebut, tetapi karena dari keenamnya ada beberapa hal yang secara alamiah saling beririsan, maka tujuan utama floortime adalah:
  1. Mendukung tercapainya atensi mutual dan keintiman/ keterlibatan dan mempertahankannya selama mungkin. Saat anak belajar tetap tenang saat mengeksplorasi dunianya, ia juga akan mengembangkan minat terhadap anda sebagai orang terpenting dalam dunianya. Tujuan kita adalah membantu anak tetap terlibat dengan kita dan menikmati kehadiran kita.
  2. Membantu anak belajar membuka dan menutup siklus komunikasi, dimulai dari yang bersifat gestural dan lama kelamaan berkembang menjadi lebih kompleks, mengerti dan mengekspresikan keinginan, harapan, perasaan, dan kemudian komunikasi yang bersifat problem solving.
  3. Mendukung pengekspresian dan penggunaan perasaan dan ide-ide baik melalui kata-kata maupun bermain pura-pura. Tujuan kita adalah mengembangkan drama dan bermain pura-pura sebagai sarana.
  4. Membantu anak mengkaitkan ide dan perasaan sehingga mencapai pemahaman tentang dunia yang logis dan saling terkait. la belajar berpikir logis.

Ada beberapa pedoman dasar yang perlu diperhatikan saat melakukan pendekatan floortime yakni :
  • Waktu yang dibutuhkan 20 - 30 menit
  • Orangtua benar-benar fokus dan terlibat dalam permainan, tidak melakukan hal lain seperti memegang HP, menonton television, makan, atau hal lainnya.
  • Anak boleh memilih mainan apapun yang disukainya
  • Anak memilihkan mainan apa yang akan dipegang/dimainkan oleh orangtuanya
  • Anak menentukan jalannya permainan, orangtua secara perlahan ‘masuk’ dan membimbing jika anak terpaku atau bingung untuk melanjutkan permainan. Orangtua bisa memberikan pancingan agar anak mulai aktif kembali.
  • Orangtua empati terhadap emosi yang ditunjukkan oleh anak.
  • Harus semenyenangkan mungkin.
  • Harus seekspresif mungkin, yakni agar anak mengenal beragam bentuk emosi.
Setelah memahami pedoman dasar floortime, sebagai sebuah metode pendekatan, floortime merupakan proses yang terdiri dari lima langkah yakni :
  1. Observasi
Observasi ini meliputi mendengarkan ataupun mengamati baik ekspresi muka, nada suara, gestur, kata-kata yang dikeluarkan anak, apakah anak cenderung komunikatif atau menarik diri, anak senang atau ketakutan, dan sebagainya. Semua ini penting agar kita dapat menentukan bagaimana harus mendekati anak.
  1. Membuka lingkaran komunikasi
Jika kita dapat mengamati anak dengan baik maka kita dapat mendekati anak dengan kata-kata dan gestur yang pas sehingga kita dapat membuka lingkaran komunikasi dengan anak.
  1. Mengikuti aktivitas yang diminati oleh anak.
Selanjutnya kita mengikuti aktivitas yang menarik minat anak, dengan jalan menjadi teman bermain dan sebagai seorang yang siap membantu bila anak memerlukan. Berikan kesempatan pada anak untuk membuat sendiri aturan dalam permainannya.
  1. Memperluas permainan.
Setelah kita mengikuti permainan yang dipilih oleh anak, kita dapat melibatkan diri untuk mengembangkan permainan dengan memberikan komentar yang membangun tentang permainannya atau menanyakan sesuatu untuk merangsang daya pikir anak dalam permainan tanpa kesan mengganggu.
  1. Biarkan anak menutup lingkaran komunikasi.
Berikan kesempatan pada anak untuk menutup lingkaran komunikasi dengan respon baik itu melalui gestur ataupun dengan komentar. Semakin banyak lingkaran komunikasi yang terbentuk maka semakin banyak kemampuan anak yang muncul.

Teknik floortime ini dapat diterapkan sebagai salah satu metode terapi pada anak berkebutuhan khusus, dengan kecenderungan :
  • Autisma
  • Gangguan spektrum autistik
  • Gangguan perkembangan pervasif
  • Gangguang perkembangan pervasif yang tidak khusus
  • Gangguan perkembangan multisistem
  • Keterbelakangan mental
  • Cerebral Palsy
  • Sindroma Down
  • Gangguan atau keterlambatan kognitif
  • Gangguan atau keterlambatan bahasa
  • Tonus otot lemah
  • Gangguan pengintegrasian sensori
  • Gangguan yang berkenaan dengan kromosom, metabolisme dan gangguan lainnya.

Saat hendak menerapkan teknik floortime ini, perlu sekali diperhatikan bahwa pemberiannya harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan anak, misalnya :
  1. Anak dengan gangguan pemrosesan auditori----gunakan gerak isyarat,mimik wajah.
  2. Anak dengan gangguan pemrosesan visual-spasial----gunakan barang-barang ‘berwarna’.
  3. Anak dengan gangguan perencanaan motorik----berikan permainan dengan giliran
  4. Anak kurang reaktif dan menarik diri----berikan permainan dengan banyak gerakan yang bersemangat.
  5. Anak kurang reaktif dan mudah teralih----berikan permainan dengan gerakan yang teratur.
  6. Anak terlampau reaktif dan menghindar----berikan percakapan logis dan tidak terputus.
  7. Anak terlampau reaktif dan mudah teralih----berikan permainan yang menenangkan.
Jika pendekatan floortime ini diberikan sesuai dengan pedoman dasar yang sudah disebutkan di atas, diharapkan anak akan mampu mencapai keenam tahap perkembangan emosi dan akan memberikan manfaat tambahan lain yang juga penting yakni :
  • Mengenalkan anak pada berbagai macam emosi, misalnya “ Wah kudanya terlihat takut ya untuk melompati jembatan.”
  • Meningkatkan kemampuan problem solving pada anak, misalnya “Bayi Angel sedang demam ya, kita ambil kain yuk untuk mengompres dahinya”
  • Meningkatkan rasa percaya diri anak karena anak diberi kesempatan untuk ‘mengontrol’ permainan dan berinisiatif untuk memunculkan ide-ide dalam bermain.
  • Membangun hubungan yang hangat, akrab, dan komunikatif dengan anak.
  • Mengurangi kecemasan pada anak.
  • Meningkatkan kreativitas anak.

Sumber:
Stanley, I Greenspan dan Serena Wieder. (2006). The Child with Special Needs (Anak Berkebutuhan Khusus). Jakarta:Yayasan Ayo Main.