ditulis oleh Irene Raflesia, M.Psi, Psikolog
Psikolog Dewasa klinik Psikologi Pelangi
Artikel ini saya buat sebagai bahan referensi versi
lengkap dari ulasan problematika “Tanggung Jawab Terbesar Ada pada Orangtua
& Keluarga Hadapi Kampanye LGBT” yang terbit di Majalah Kartini edisi 2421
yang diterbitkan tanggal 3 Maret 2016.
Dalam menanggapi hasil ulasan artikel tersebut,
saya ingin menjabarkan lebih lanjut tentang kaitan antara pola asuh dan LGBT.
Untuk mempermudah pemahaman, saya telah menambahkan definisi untuk beberapa konsep
penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas tentang seksualitas manusia.
Anda dapat menemukan definisi ini pada bagian akhir dari artikel.
Secara umum, pola asuh dapat dipahami sebagai gaya
pendekatan yang digunakan oleh orang tua dalam upaya membesarkan anaknya. Pola
asuh mengandung 2 elemen penting di dalamnya yaitu keresponsifan dan
pengendalian. Keresponsifan merujuk pada sejauh mana orang tua dengan sengaja menunjang
individualitas, pengaturan diri anak dengan cara menyelaraskan, mendukung dan
berupaya memenuhi berbagai kebutuhan serta tuntutan anaknya. Sedangkan,
pengendalian merujuk pada upaya orang tua dalam mengintegrasikan anak ke dalam
keluarga secara utuh dengan cara mengawasi, mendisiplinkan dan memberikan
teguran apabila diperlukan. Seiring berjalannya waktu, beberapa penelitian
menyepakati bahwa pola asuh ini penting untuk membentuk kompetensi sosial anak
yang akan membantunya mengatasi permasalahan yang akan dihadapinya di masa
mendatang.
Para ilmuwan sepakat bahwa tidak ada satu rumusan
pola asuh yang paling tepat dalam upaya mengasuh anak, terutama untuk
menghasilkan suatu karakter tertentu. Variasi dari perbedaan pola asuh sangat
luas akibat adanya perbedaan temperamen anak, kepribadian, budaya, jumlah
anggota keluarga, latar belakang keluarga, status sosioekonomi, latar belakang
pendidikan, dan juga agama. Hingga saat ini, para ilmuwan meyakini bahwa hasil
pengasuhan anak ditentukan oleh kombinasi yang kompleks antara faktor bawaan (nature) dan faktor binaan (nurture). Hal yang sama pun terjadi pada
orientasi seksual.
Orientasi seksual dapat diartikan sebagai pilihan
seseorang untuk menjalin hubungan dan / atau ketertarikan seseorang secara
fisik, emosional, romantis, dan seksual terhadap orang lain. Orientasi ini
kemungkinan merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor biologis,
kognitif, dan lingkungan. Walau terdapat banyak penelitian yang berupaya
mencari pengaruh berbagai faktor terhadap orientasi seksual, Asosiasi Psikiatri
Amerika (2008) menyatakan belum ada temuan yang memungkinkan para peneliti
untuk menyimpulkan bahwa orientasi seksual ini ditentukan oleh satu atau lebih
faktor tertentu. Sederhananya, ada beragam alasan mengapa seseorang memiliki
orientasi seksual tertentu dan alasan tersebut bisa jadi berbeda untuk satu
individu dengan individu lain.
Anak-anak mulai memasuki fase eksplorasi setelah
menginjak usia 3 tahun. Sangatlah penting untuk diketahui orang tua bahwa eksplorasi
ini tidak terbatas pada benda, lingkungan sekitar begitu pula dengan organ
tubuhnya sendiri. Anak-anak juga dapat menunjukkan ketertarikan untuk
mengetahui tentang alat kelaminnya dan ini merupakan hal yang lumrah. Pada fase
ini, orang tua disarankan untuk tenang dan tidak terlalu cepat mengambil
kesimpulan tentang berbagai kemungkinan. Bila diperlukan, orang tua disarankan
untuk memberikan pendidikan seksual anak sejak dini sesuai dengan tahapan
perkembangannya.
Ketika anak menanyakan hal yang sulit, orang tua
dapat menanggapi dengan menjawab jujur bahwa ia tidak tahu. Dengan berkata
jujur, anak akan belajar memahami bahwa proses belajar akan terus berlanjut
hingga ia dewasa. Jika orang tua merasa kurang nyaman dengan hal tersebut, maka
ia dapat mencari informasi dari dokter, psikolog anak ataupun para pakar yang
dapat dipercaya untuk memberikan penjelasan kepada anak. Biar bagaimanapun, hal
ini lebih baik daripada anak belajar dari sumber-sumber informasi yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Orang tua memegang peranan penting dalam
memperkenalkan peran gender (gender roles)
terhadap anak-anaknya. Anda mungkin pernah menemukan orang tua yang membatasi
jenis permainan anaknya sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya, anak
laki-lakinya perlu bermain permainan yang menuntut kekuatan fisik untuk melatih
kompetisi sedangkan anak perempuan diarahkan untuk bermain boneka atau
rumah-rumahan untuk melatih kemampuan mengasuh. Orang tua tak jarang merasa
khawatir saat menemukan anaknya memiliki minat terhadap permainan yang berbeda
dengan permainan yang dianggap seharusnya. Dilihat dari aspek perkembangan, sebetulnya
tidak ada ketentuan yang mengharuskan sebuah permainan dibedakan berdasarkan
jenis kelaminnya. Hal yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua adalah berupaya memberikan
dukungan yang diperlukan bagi anaknya. Orang tua perlu memahami bahwa tiap anak
memiliki potensi unik tersendiri dan mereka perlu merasa nyaman dengan dirinya
sendiri. Membebaskan pilihan anak untuk bermain tanpa mempertimbangkan dapat
menunjang kesempatan dalam mengeksplorasi minat, ide dan aktivitas.
Orang tua mungkin bertanya-tanya saat menemukan anak
perempuannya menunjukkan sikap tomboy
atau anak laki-laki yang cenderung sensitif dan lembut. Ketika membahas hal ini,
maka kita berbicara tentang dimensi lain dari seksualitas yaitu tentang
ekspresi gender. Ekspresi gender sederhananya dapat diartikan sebagai cara
seseorang mengekspresikan diri untuk mengomunikasikan peran gender dalam
lingkungan sosialnya. Ketika ekspresi gender tidak sesuai dengan peran gender
hal ini tidak selalu pasti mencerminkan adanya masalah pada identitas
gendernya. (Currah & Minter, 2000).
Pada tahun 1990, Organisasi Kesehatan Dunia secara
resmi menyatakan bahwa homoseksualitas bukan merupakan penyakit atau gangguan
kejiwaan. Pernyataan ini ditanggapi oleh Departemen Kesehatan yang pada tahun
1993 mengeluarkan klasifikasi homoseksualitas dari buku Pedoman Penggolongan
dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III. Keputusan ini menunjukkan bahwa
orientasi seksual bukanlah merupakan penyakit dan tidak menular. Sampai saat
ini, keputusan tersebut telah dijadikan pedoman dan acuan para dokter, psikiater
maupun para psikolog di Indonesia dan di dunia.
Meski demikian, masyarakat pada umumnya masih
cenderung menganggap bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit yang harus
disembuhkan. LGBT kerap sekali dipandang sebagai sebuah gangguan, penyakit, dan
dipandang sebagai hal yang negatif oleh masyarakat sosial. Ketika seseorang
memiliki orientasi seksual yang berbeda, umumnya ia akan merasa bingung, tidak
nyaman, dan mengalami kecemasan terhadap pandangan sosial (Lyness, 2013) . Hal
ini juga umumnya dirasakan oleh individu yang mengalami kebingungan terhadap
gender, identitas seksual, dan orientasi seksualnya (“questioning”).
Dalam kebingungan ini, orang tidak jarang mencari,
dan bahkan menjalani, beragam teknik terapi yang diyakini dapat “menyembuhkan”
dan mengubah orientasi seksualnya. Dari sisi psikoterapi, berbagai penelitian menemukan
bahwa penerapan teknik ini menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Dalam temuan Glassgold
& Beckstead (2009), banyak di antara penelitian tentang terapi untuk
mengubah orientasi seksual ini mengalami beragam permasalahan dalam hal
memenuhi standar metodologi serta efek setelah terapi. Walau penelitian
melaporkan adanya perubahan orientasi seksual, penelitian tersebut tidak dapat
memberikan penjelasan lebih spesifik tentang hasil dan aspek keamanannya. Dalam
tinjauannya, teknik yang diterapkan juga menimbulkan efek negatif pada para
partisipannya. Hal ini kemudian membuat teknik yang diterapkan ini sulit disimpulkan
sebagai teknik yang efektif dan aman.
Remaja adalah masa transisi baik bagi anak maupun
orang tua. Dalam fase ini, remaja mulai membentuk identitasnya dengan cara
mengeksplorasi, mempelajari, dan bereksperimentasi. Remaja mungkin saja
mengalami kebingungan akan perasaannya terhadap teman yang menimbulkan
kebingungan terkait orientasi seksualnya. Ketika remaja mengalami kebingungan
dan tidak yakin terhadap gender, identitas seksual, dan orientasi seksual, ia
sedang mengalami proses yang disebut sebagai questioning. Kebingungan ini dapat berkurang seiring dengan
perkembangannya dengan hasil yang beragam setiap individunya.
Orang tua mungkin mengalami kebingungan dan
khawatir dengan proses tersebut. Langkah lain yang dapat ditempuh orang tua
adalah berdiskusi dengan dokter, psikiater atau psikolog untuk memperoleh
informasi yang akurat tentang orientasi seksual dan identitas gender. Orang tua
juga dapat menjalin komunikasi dengan anak anda. Perlu diperhatikan bahwa orang
tua sebaiknya berusaha untuk tidak
memaksakan anak untuk mengikuti terapi apabila ia merasa belum siap.
Konseling dalam hal ini berfungsi sebagai upaya
memberikan informasi yang lebih akurat terhadap kondisi yang dialami. Pada
individu dengan orientasi seksual berbeda, konseling dapat membantu individu
untuk mengatasi tekanan yang dirasakan akibat pandangan sosial. Hendaknya
dipahami bahwa pendekatan terapi yang sebaiknya tidak menyalahkan dan normatif.
Dengan menekankan pada aspek penerimaan dan dukungan, individu dapat mengelola
tekanan yang dialami dalam menghadapi kebingungan terhadap orientasi
seksualnya.
=====Definisi=====
Seks atau identitas seksual adalah status biologis
(ditentukan dari gen, kromosom, hormon, organ reproduksi internal dan organ
reproduksi sekunder) seseorang yang umumnya dikategorikan sebagai laki-laki,
perempuan, atau interseks. Interseks mungkin adalah kategori yang paling jarang
didengar, namun istilah ini digunakan untuk menjelaskan jenis kelamin individu
yang terlahir dengan karakteristik tertentu yang membuat mereka sulit untuk
digolongkan sebagai pria atau wanita.
Orientasi seksual dapat diartikan sebagai pilihan
seseorang untuk menjalin hubungan dan / atau ketertarikan seseorang secara
fisik, emosional, romantis, dan seksual terhadap individu lain. Orientasi
seksual ini berada pada sebuah rentang kontinum antara ketertarikan hanya pada
lawan jenis saja dan ketertarikan pada hanya sesama jenis saja. Implikasinya
adalah ada sebagian individu yang memiliki ketertarikan yang sama baik pada
lawan jenis maupun sesama jenis (biseksual). Di luar itu terdapat aseksual yang
digunakan sebagai sebutan bagi individu yang kurang / tidak memiliki
ketertarikan menjalin hubungan fisik, emosional, romantis dan seksual dengan
orang lain.
Gender adalah tuntutan peran berupa sikap, emosi
dan perilaku yang sering dikaitkan dengan identitas seksual seseorang.
Identitas gender adalah penghayatan seseorang
terhadap identitas seksualnya. Penghayatan psikologis ini tidak selalu selaras
identitas seksualnya, dalam hal ini, istilah yang digunakan disebut sebagai
transgender. Transgender yang sudah mengalami operasi ganti kelamin agar
identitas gendernya selaras dengan fisik disebut dengan transeksual.
Ekspresi gender adalah karakteristik eksternal dan
tingkah laku atau cara mengekspresikan diri untuk mengomunikasikan peran gender
dalam lingkungan sosialnya. Hal ini dapat tersirat berupa cara berpakaian, pola
berkomunikasi dan minat. Ketika ekspresi gender tidak sesuai dengan peran
gender hal ini tidak selalu pasti mencerminkan identitas gendernya. (Currah
& Minter, 2000)