Senin, 30 Mei 2016

#Bermain



ditulis oleh Christine Natalia, M.Psi., Psikolog
Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi
Slide1 Slide2 Slide3 Slide4 Slide5 Slide6 Slide7 Slide8 Slide9 Slide10 Slide11 Slide12 Slide13 Slide14 Slide15 Slide16 Slide17 Slide18 Slide19

Senin, 16 Mei 2016

TALK SHOW and STUDENTS PERFORMANCE 29 MEI 2016

TALK SHOW and STUDENTS PERFORMANCE 
TEMA
“MARI BERMAIN !”
oleh
Klinik Pelangi

kegiatan ini diadakan pada :
Hari/ tanggal : Minggu / 29 Mei 2016
Waktu : 13.00 – 16.00 WIB
Tempat : Mal Ciputra Cibubur

Pembicara / Narasumber dari klinik pelangi adalah :
Psikolog Christine
Psikolog Natalia
Psikolog Sinta

Membahas tentang pentingnya bermain pada anak, Manfaat Bermain pada anak berkebutuhan khusus (floortime), her main pada remaja dan dewasa (art Therapy).



Senin, 09 Mei 2016

Pola Asuh Orang Tua dan Orientasi Seksual

Irene
ditulis oleh Irene Raflesia, M.Psi, Psikolog
Psikolog Dewasa klinik Psikologi Pelangi


Artikel ini saya buat sebagai bahan referensi versi lengkap dari ulasan problematika “Tanggung Jawab Terbesar Ada pada Orangtua & Keluarga Hadapi Kampanye LGBT” yang terbit di Majalah Kartini edisi 2421 yang diterbitkan tanggal 3 Maret 2016.

Dalam menanggapi hasil ulasan artikel tersebut, saya ingin menjabarkan lebih lanjut tentang kaitan antara pola asuh dan LGBT. Untuk mempermudah pemahaman, saya telah menambahkan definisi untuk beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas tentang seksualitas manusia. Anda dapat menemukan definisi ini pada bagian akhir dari artikel.

Secara umum, pola asuh dapat dipahami sebagai gaya pendekatan yang digunakan oleh orang tua dalam upaya membesarkan anaknya. Pola asuh mengandung 2 elemen penting di dalamnya yaitu keresponsifan dan pengendalian. Keresponsifan merujuk pada sejauh mana orang tua dengan sengaja menunjang individualitas, pengaturan diri anak dengan cara menyelaraskan, mendukung dan berupaya memenuhi berbagai kebutuhan serta tuntutan anaknya. Sedangkan, pengendalian merujuk pada upaya orang tua dalam mengintegrasikan anak ke dalam keluarga secara utuh dengan cara mengawasi, mendisiplinkan dan memberikan teguran apabila diperlukan. Seiring berjalannya waktu, beberapa penelitian menyepakati bahwa pola asuh ini penting untuk membentuk kompetensi sosial anak yang akan membantunya mengatasi permasalahan yang akan dihadapinya di masa mendatang.

Para ilmuwan sepakat bahwa tidak ada satu rumusan pola asuh yang paling tepat dalam upaya mengasuh anak, terutama untuk menghasilkan suatu karakter tertentu. Variasi dari perbedaan pola asuh sangat luas akibat adanya perbedaan temperamen anak, kepribadian, budaya, jumlah anggota keluarga, latar belakang keluarga, status sosioekonomi, latar belakang pendidikan, dan juga agama. Hingga saat ini, para ilmuwan meyakini bahwa hasil pengasuhan anak ditentukan oleh kombinasi yang kompleks antara faktor bawaan (nature) dan faktor binaan (nurture). Hal yang sama pun terjadi pada orientasi seksual.

Orientasi seksual dapat diartikan sebagai pilihan seseorang untuk menjalin hubungan dan / atau ketertarikan seseorang secara fisik, emosional, romantis, dan seksual terhadap orang lain. Orientasi ini kemungkinan merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor biologis, kognitif, dan lingkungan. Walau terdapat banyak penelitian yang berupaya mencari pengaruh berbagai faktor terhadap orientasi seksual, Asosiasi Psikiatri Amerika (2008) menyatakan belum ada temuan yang memungkinkan para peneliti untuk menyimpulkan bahwa orientasi seksual ini ditentukan oleh satu atau lebih faktor tertentu. Sederhananya, ada beragam alasan mengapa seseorang memiliki orientasi seksual tertentu dan alasan tersebut bisa jadi berbeda untuk satu individu dengan individu lain.

Anak-anak mulai memasuki fase eksplorasi setelah menginjak usia 3 tahun. Sangatlah penting untuk diketahui orang tua bahwa eksplorasi ini tidak terbatas pada benda, lingkungan sekitar begitu pula dengan organ tubuhnya sendiri. Anak-anak juga dapat menunjukkan ketertarikan untuk mengetahui tentang alat kelaminnya dan ini merupakan hal yang lumrah. Pada fase ini, orang tua disarankan untuk tenang dan tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan tentang berbagai kemungkinan. Bila diperlukan, orang tua disarankan untuk memberikan pendidikan seksual anak sejak dini sesuai dengan tahapan perkembangannya.

Ketika anak menanyakan hal yang sulit, orang tua dapat menanggapi dengan menjawab jujur bahwa ia tidak tahu. Dengan berkata jujur, anak akan belajar memahami bahwa proses belajar akan terus berlanjut hingga ia dewasa. Jika orang tua merasa kurang nyaman dengan hal tersebut, maka ia dapat mencari informasi dari dokter, psikolog anak ataupun para pakar yang dapat dipercaya untuk memberikan penjelasan kepada anak. Biar bagaimanapun, hal ini lebih baik daripada anak belajar dari sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Orang tua memegang peranan penting dalam memperkenalkan peran gender (gender roles) terhadap anak-anaknya. Anda mungkin pernah menemukan orang tua yang membatasi jenis permainan anaknya sesuai dengan jenis kelaminnya. Misalnya, anak laki-lakinya perlu bermain permainan yang menuntut kekuatan fisik untuk melatih kompetisi sedangkan anak perempuan diarahkan untuk bermain boneka atau rumah-rumahan untuk melatih kemampuan mengasuh. Orang tua tak jarang merasa khawatir saat menemukan anaknya memiliki minat terhadap permainan yang berbeda dengan permainan yang dianggap seharusnya. Dilihat dari aspek perkembangan, sebetulnya tidak ada ketentuan yang mengharuskan sebuah permainan dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Hal yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua adalah berupaya memberikan dukungan yang diperlukan bagi anaknya. Orang tua perlu memahami bahwa tiap anak memiliki potensi unik tersendiri dan mereka perlu merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Membebaskan pilihan anak untuk bermain tanpa mempertimbangkan dapat menunjang kesempatan dalam mengeksplorasi minat, ide dan aktivitas.

Orang tua mungkin bertanya-tanya saat menemukan anak perempuannya menunjukkan sikap tomboy atau anak laki-laki yang cenderung sensitif dan lembut. Ketika membahas hal ini, maka kita berbicara tentang dimensi lain dari seksualitas yaitu tentang ekspresi gender. Ekspresi gender sederhananya dapat diartikan sebagai cara seseorang mengekspresikan diri untuk mengomunikasikan peran gender dalam lingkungan sosialnya. Ketika ekspresi gender tidak sesuai dengan peran gender hal ini tidak selalu pasti mencerminkan adanya masalah pada identitas gendernya. (Currah & Minter, 2000).

Pada tahun 1990, Organisasi Kesehatan Dunia secara resmi menyatakan bahwa homoseksualitas bukan merupakan penyakit atau gangguan kejiwaan. Pernyataan ini ditanggapi oleh Departemen Kesehatan yang pada tahun 1993 mengeluarkan klasifikasi homoseksualitas dari buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III. Keputusan ini menunjukkan bahwa orientasi seksual bukanlah merupakan penyakit dan tidak menular. Sampai saat ini, keputusan tersebut telah dijadikan pedoman dan acuan para dokter, psikiater maupun para psikolog di Indonesia dan di dunia.

Meski demikian, masyarakat pada umumnya masih cenderung menganggap bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit yang harus disembuhkan. LGBT kerap sekali dipandang sebagai sebuah gangguan, penyakit, dan dipandang sebagai hal yang negatif oleh masyarakat sosial. Ketika seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda, umumnya ia akan merasa bingung, tidak nyaman, dan mengalami kecemasan terhadap pandangan sosial (Lyness, 2013) . Hal ini juga umumnya dirasakan oleh individu yang mengalami kebingungan terhadap gender, identitas seksual, dan orientasi seksualnya (“questioning”).

Dalam kebingungan ini, orang tidak jarang mencari, dan bahkan menjalani, beragam teknik terapi yang diyakini dapat “menyembuhkan” dan mengubah orientasi seksualnya. Dari sisi psikoterapi, berbagai penelitian menemukan bahwa penerapan teknik ini menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Dalam temuan Glassgold & Beckstead (2009), banyak di antara penelitian tentang terapi untuk mengubah orientasi seksual ini mengalami beragam permasalahan dalam hal memenuhi standar metodologi serta efek setelah terapi. Walau penelitian melaporkan adanya perubahan orientasi seksual, penelitian tersebut tidak dapat memberikan penjelasan lebih spesifik tentang hasil dan aspek keamanannya. Dalam tinjauannya, teknik yang diterapkan juga menimbulkan efek negatif pada para partisipannya. Hal ini kemudian membuat teknik yang diterapkan ini sulit disimpulkan sebagai teknik yang efektif dan aman. 

Remaja adalah masa transisi baik bagi anak maupun orang tua. Dalam fase ini, remaja mulai membentuk identitasnya dengan cara mengeksplorasi, mempelajari, dan bereksperimentasi. Remaja mungkin saja mengalami kebingungan akan perasaannya terhadap teman yang menimbulkan kebingungan terkait orientasi seksualnya. Ketika remaja mengalami kebingungan dan tidak yakin terhadap gender, identitas seksual, dan orientasi seksual, ia sedang mengalami proses yang disebut sebagai questioning. Kebingungan ini dapat berkurang seiring dengan perkembangannya dengan hasil yang beragam setiap individunya.

Orang tua mungkin mengalami kebingungan dan khawatir dengan proses tersebut. Langkah lain yang dapat ditempuh orang tua adalah berdiskusi dengan dokter, psikiater atau psikolog untuk memperoleh informasi yang akurat tentang orientasi seksual dan identitas gender. Orang tua juga dapat menjalin komunikasi dengan anak anda. Perlu diperhatikan bahwa orang tua  sebaiknya berusaha untuk tidak memaksakan anak untuk mengikuti terapi apabila ia merasa belum siap.

Konseling dalam hal ini berfungsi sebagai upaya memberikan informasi yang lebih akurat terhadap kondisi yang dialami. Pada individu dengan orientasi seksual berbeda, konseling dapat membantu individu untuk mengatasi tekanan yang dirasakan akibat pandangan sosial. Hendaknya dipahami bahwa pendekatan terapi yang sebaiknya tidak menyalahkan dan normatif. Dengan menekankan pada aspek penerimaan dan dukungan, individu dapat mengelola tekanan yang dialami dalam menghadapi kebingungan terhadap orientasi seksualnya.
=====Definisi=====

Seks atau identitas seksual adalah status biologis (ditentukan dari gen, kromosom, hormon, organ reproduksi internal dan organ reproduksi sekunder) seseorang yang umumnya dikategorikan sebagai laki-laki, perempuan, atau interseks. Interseks mungkin adalah kategori yang paling jarang didengar, namun istilah ini digunakan untuk menjelaskan jenis kelamin individu yang terlahir dengan karakteristik tertentu yang membuat mereka sulit untuk digolongkan sebagai pria atau wanita.

Orientasi seksual dapat diartikan sebagai pilihan seseorang untuk menjalin hubungan dan / atau ketertarikan seseorang secara fisik, emosional, romantis, dan seksual terhadap individu lain. Orientasi seksual ini berada pada sebuah rentang kontinum antara ketertarikan hanya pada lawan jenis saja dan ketertarikan pada hanya sesama jenis saja. Implikasinya adalah ada sebagian individu yang memiliki ketertarikan yang sama baik pada lawan jenis maupun sesama jenis (biseksual). Di luar itu terdapat aseksual yang digunakan sebagai sebutan bagi individu yang kurang / tidak memiliki ketertarikan menjalin hubungan fisik, emosional, romantis dan seksual dengan orang lain.

Gender adalah tuntutan peran berupa sikap, emosi dan perilaku yang sering dikaitkan dengan identitas seksual seseorang.

Identitas gender adalah penghayatan seseorang terhadap identitas seksualnya. Penghayatan psikologis ini tidak selalu selaras identitas seksualnya, dalam hal ini, istilah yang digunakan disebut sebagai transgender. Transgender yang sudah mengalami operasi ganti kelamin agar identitas gendernya selaras dengan fisik disebut dengan transeksual.

Ekspresi gender adalah karakteristik eksternal dan tingkah laku atau cara mengekspresikan diri untuk mengomunikasikan peran gender dalam lingkungan sosialnya. Hal ini dapat tersirat berupa cara berpakaian, pola berkomunikasi dan minat. Ketika ekspresi gender tidak sesuai dengan peran gender hal ini tidak selalu pasti mencerminkan identitas gendernya. (Currah & Minter, 2000)