ditulis oleh
Widad Zahra Adiba
Mahasiswa Psikologi Universitas Johannes-Gutenberg Mainz, Jerman
yang saat ini sedang internship di Klinik Pelangi
Sudah
banyak sekali contoh yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari dan
di seluruh belahan dunia tentang semakin menipisnya nilai toleransi.
Seperti halnya di Amerika serikat, ada ketidaksetaraan terhadap
masyarakat kulit hitam sejak dulu, kemudian saat ini muncul beberapa
kebijakan yang tidak ramah terhadap imigran. Di beberapa negara, seperti
Arab Saudi dan Mesir memberikan kelompok pria quota yang lebih besar
dibandingkan perempuan untuk mengakses ruang publik dan bidang
profesional. Contoh lainnya di Indonesia semasa proses kampanye
pemilihan gubernur DKI Jakarta yang sempat diwarnai oleh isu SARA serta
turut menimbulkan percekcokan di berbagai kalangan.
Yang
memprihatinkan adalah nasib generasi muda bangsa kita, dikhawatirkan
mengikuti arus zaman yang semakin lama semakin kehilangan makna
toleransi antarsesama. Padahal toleransi sangat penting untuk
diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari agar dapat mudah menerima
perbedaan tanpa menghakimi satu sama lain yang nantinya bisa menimbulkan
masalah-masalah baru. Seperti yang dialami oleh penulis sendiri, yang
adalah seorang Mahasiswa Indonesia yang sekarang kuliah dan hidup di
Jerman. Di sana, baik itu di Universitas, di tempat kerja sambilan, di
lingkungan tempat tinggal, dan lainnya kita pasti bertemu dengan
teman-teman baru dari cakupan internasional. Tidak hanya yang berasal
dari Jerman saja, banyak juga yang datang dari negara lain, seperti
Amerika, Jepang, Brazil, Albania, Ekuador, Korea, dan masih banyak lagi
dengan latar belakang yang berbeda. Untuk dapat berbaur dan bekerja
sama, kita perlu terbuka dan menerima perbedaan tersebut. Dengan adanya
toleransi, pikiran terbuka, dan saling menghargailah yang membuat kita
semua berteman.
Banyak
orang tua di Indonesia yang memilih menyekolahkan anak di sekolah yang
homogen, seperti sekolah berbasis agama, dengan berbagai tujuan. Hal ini
tidaklah salah, melainkan pengelompokan pada suatu kelompok tertentu
yang terkadang membuat sulit untuk mengenalkan anak bahwa sebenarnya
Indonesia adalah negara yang sangat beragam, dari segi agama, budaya,
bahasa daerah, suku, ras dan lainnya.
“Kita
perlu memperkenalkan kepada anak-anak kita bahwa dari lingkungan yang
homogen masih ada lagi lingkungan lain di luar sana yang beragam.
Sebenarnya Indonesia adalah lingkungan yang heterogen,
beragam budaya, suku, agama, dan ras. Tetapi sangat disayangkan saat
ini karena pengaruh budaya luar yang lebih kuat daya tariknya, banyak
yang melupakan budaya Indonesia sendiri”, ungkap Masniarita Siburian
Silalahi, atau yang biasa disapa Rita, pengelola dan pendiri Indonesian
Cultural Adventure (ICA), lulusan dari Anglia Ruskin University
Cambridge Inggris. Menurut Rita, makna toleransi adalah kita bisa
menerima sesama kita, bisa menerima perbedaan. Kita adalah sama-sama
manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan menciptakan kita seorangpun tidak ada
yang sama, jadi kita harus selalu menghargai dan menerima satu sama
lain. Lewat program-program ICA, Rita biasanya mengajarkan anak-anak
tentang toleransi dan keberagaman dengan cara yang asyik dan fun
sehingga dapat lebih mudah diterima oleh anak anak. Seperti melakukan
perjalanan ke kota-kota yang ada di Indonesia, yaitu Padang, Solo,
Bogor, dan lainnya. Di sana anak-anak bisa belajar langsung tentang
kebudayaan dari kota tersebut. Waktu yang lalu ICA dalam programnya yang
bernama ‘Jejak Pluralisme Jakarta’ mengunjungi Masjid Istiqlal, Gereja
Katedral, dan Wihara. Di sana anak-anak belajar banyak tentang
pluralisme.
“Perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa
dihindari, karena setiap orang tentunya berbeda-beda. Anak kembar
sekalipun pasti berbeda, dari sifat, kebiasaan, sampai kepribadiannya.
Ketika kita hidup bermasyarakat, kita perlu mengembangkan sikap
toleransi agar kita dapat menghargai orang lain yang berbeda dari kita,
seperti perbedaan pendapat, perilaku, kebiasaan, karakter, dan
lain-lain”, jelas Reneta Kristiani M.Psi., seorang Psikolog Klinis Anak
dari Klinik Pelangi di Kota Wisata, Cibubur mengenai pengertian
toleransi. Psikolog yang biasa disapa Neta ini menjelaskan bahwa setiap
orang itu diciptakan Tuhan unik dengan perbedaan masing-masing. Oleh
karena itu, perbedaan sebaiknya bukan menjadi sumber konflik atau suatu
bahan cemoohan atau ejekan, tetapi justru dengan perbedaan itu sendiri
dunia menjadi kaya akan keberagaman, indah, dan tidak membosankan”.
Sangat penting mengajarkan toleransi kepada anak agar anak bisa
menghargai orang lain yang berbeda darinya. Berikut tips-tips yang bisa
dilakukan orang tua di rumah untuk mengajarkan anak tentang toleransi
dan mengenalkan pada keberagaman :
1. Mengenalkan perbedaan dari lingkungan terkecil
“Toleransi
bisa diajarkan kepada anak mulai dari lingkungan terkecil, yaitu
keluarga. Dari keluarga anak bisa mulai mempelajari bahwa dirinya
berbeda dari saudara dan orang tuanya sendiri, meskipun mirip tetapi
pasti ada hal yang berbeda dari ciri fisik, seperti jenis rambut, warna
kulit, bentuk mata, hidung, telinga, bibir, dsb. Kemudian perbedaan
sifat, perilaku, hobi, kebiasaan sampai karakter dan kepribadian.
Sebagai contoh perbedaan hobi, kakak suka bermain permainan yang
membutuhkan motorik kasar, seperti lompat tali, bermain bola, bersepeda,
sedangkan adik lebih suka bermain lego, mobil-mobilan, mewarnai yang
lebih mengandalkan keterampilan motorik halus. Dari contoh perbedaan
tersebut, orang tua perlu mengajarkan anak bahwa perbedaan itu unik dan
kita sepatutnya menerima perbedaan tersebut”, tutur psikolog Neta.
- Belajar menghargai pendapat orang lain
Seringkali
kita temukan dalam keluarga adanya perbedaan pendapat. Contoh kecil
adalah adik ingin makan di restoran A, tetapi kakak ingin makan di
restoran B. Orang tua sebaiknya menengahi dan memberikan solusi agar
anak bisa belajar untuk menghargai perbedaan pendapat tersebut dan
berdiskusi untuk mencapai kesepakatan. Misalnya, minggu ini makan di
restoran A terlebih dahulu dan minggu depan makan di restoran B sehingga
anak terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya dan juga menghargai
pendapat orang lain yang berbeda darinya serta dapat menyelesaikan
masalah dengan bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
- Mengajarkan anak untuk saling berbagi
Jika
anak sejak dini sudah diajarkan untuk saling berbagi, kelak dewasa
nanti akan menjadi terbiasa untuk berbagi tanpa memilih-milih dan
membeda-bedakan orang lain. Anak perlu diperkenalkan dengan berbagai
komunitas yang berbeda dengannya, misalnya belajar berbagi dengan
anak-anak lain di Panti Asuhan.
- Mengajarkan anak untuk bermain dengan siapa saja
Setelah
lingkungan keluarga, sekolah adalah lingkungan kedua yang ditemui anak.
Di sekolah tentunya anak akan menemui teman yang berbeda dari dirinya,
karena teman-teman tersebut dibesarkan di lingkungan keluarga yang
berbeda darinya. Walaupun di dalam sekolah homogen sekalipun, pasti
tetap saja ada perbedaan, seperti fisik, kebiasaan, pola asuh keluarga,
dsb. Sebaiknya orang tua jangan bosan-bosan mengajak anak berbicara dan
bertanya mengenai siapa saja teman bermainnya. “Tekankan kepada anak
untuk bermain dengan siapa saja, tidak memilih-milih teman bermain dan
tidak membeda-bedakan. Memberikan anak-anak kesempatan bermain dengan
tetangga yang beraneka ragam juga sangat disarankan”, ungkap Rita.
- Berkumpul dengan keluarga besar
“Ajak
anak berkumpul bersama keluarga besar, sehingga anak dapat lebih
mengenal keluarga besar dan perbedaan karakter masing-masing orang dalam
keluarga besar” tutur Rita.
- Ajarkan anak untuk fleksibel
“Selain itu, fleksibilitas
sangat penting agar anak dapat menerima perbedaan dan juga belajar
bermasyarakat, karena di masyarakat kita tidak bisa memaksakan pandangan
orang lain harus sama dengan pandangan yang kita miliki. Kita justru
harus terbuka, open mind untuk bisa beradaptasi, menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang berbeda.Jika anak kita sudah besar dan akan
kuliah di luar kota, anak tentu harus belajar beradaptasi di lingkungan
setempat. Belum lagi jika harus kuliah keluar negeri yang nantinya perlu
belajar mengenal perbedaan di luar negeri, misalnya mengetahui adat
istiadat dan budaya masyarakat setempat serta berbagai peraturan di
negara tersebut. Oleh sebab itu, untuk mencegah culture shock (gegar budaya), anak perlu belajar beradaptasi dan bertoleransi menerima perbedaan yang ada”, jelas psikolog Neta.
- Mengajarkan anak tentang toleransi lewat dongeng, buku cerita atau film
Jika anak sudah agak besar, anak bisa diajak berdiskusi lewat film-film yang mengandung unsur toleransi, seperti film Zootopia. Film itu mengajarkan tentang perbedaan dan pentingnya untuk tidak menilai orang sesuai dengan ras-nya (stereotype).
Contohnya kelinci yang dianggap sebagai makhluk yang lemah, justru di d
alam film ini kelinci digambarkan sebagai sosok yang gesit dan dapat
menjadi seorang polisi hebat yang melawan penjahat. Demikian juga dengan
rubah yang dicap (labelling) sebagai binatang yang licik.
Padahal tokoh rubah dalam film ini ingin dapat berbuat baik. Akibatnya
karena merasa tidak dipercaya oleh lingkungan sekitarnya, ia pun
berperilaku sesuai dengan apa yang dicap orang lain, menipu orang lain.
Dari film tersebut tekankan kepada anak bahwa berteman itu tidak boleh
melihat orang dari luarnya saja atau dari stereotype
orang- orang. “Penting untuk tidak saling mengejek atau melabel
seseorang dari ciri fisik tertentu, ras, suku ataupun agama. Ajarkan
kepada anak bahwa yang terpenting adalah hati dan prestasinya, bukan
dari atribut yang sudah terberi sejak lahir (seperti ciri fisik, warna
kulit, dll)”, jelas psikolog Neta. Selain itu, buku-buku cerita tentang
kebudayaan juga bisa menjadi sarana untuk memperkenalkan anak pada
keberagaman dan toleransi, contohnya buku dongeng berjudul ‘Ya, Kami
Berbeda’ , ‘Ketika DamDam Kehilangan Wajahnya’, ‘Barongan Kecil’, ‘The Ugly Duck‘, dsb.
8. Mengajarkan anak untuk menerima diri apa adanya
Banyak iklan-iklan yang mengubah image orang lain terhadap dirinya sendiri, seperti iklan kecantikan memberikan image bahwa
cantik itu harus berkulit putih, berambut panjang dan langsing,
sehingga anak menjadi kurang percaya diri jika dirinya tidak sama dengan
image yang diberikan oleh iklan tersebut. Padahal sebenarnya
standard kecantikan itu berbeda-beda. Penting bagi anak untuk menerima
dirinya apa adanya dan tidak terpengaruh iklan. Ajarkan anak untuk
menghargai diri sendiri agar dapat terbentuk konsep diri yang baik
sehingga anak tidak membeda-bedakan orang lain dan mengejek orang lain
hanya karena ciri fisiknya yang berbeda.
9. Doronglah anak supaya bergaul, tidak hanya sibuk belajar di sekolah
Jika
anak sudah mulai beranjak remaja, ajak anak untuk ikut aktif dalam
kegiatan berorganisasi. Karena dari pergaulan tersebut, anak bisa
mengenali karakter orang lain dan belajar untuk menerima perbedaan,
kelemahan dan kelebihan teman-temannya. Jika anak dari kecil susah
bergaul, nanti saat dewasa kelak dikhawatirkan tidak bisa menerima
perbedaan orang di lingkungannya, merasa dirinya paling benar, egois
dan tertutup.
Narasumber :
- Masniarita
Siburian Silalahi (Rita), pengelola dan pendiri ICA (Indonesian
Cultural Adventure) http://www.cultureofindonesia.info/
- Reneta Kristiani, M.Psi. (Psikolog Neta), Psikolog Klinis Anak di Klinik Pelangi http://klinikpelangi.com
Sumber Referensi :
http://print.kompas.com/baca/sosok/2017/02/03/Menyemai-Cinta-pada Keberagaman
http://kompasprint.com/vod/ungkidanrita
http://www.cultureofindonesia.info/
Contoh Buku Mengenal Keberagaman :