Senin, 10 April 2017

Skizofrenia


ditulis oleh
Widad Zahra Adiba
Mahasiswa Psikologi Universitas Johannes-Gutenberg Mainz, Jerman
yang saat ini sedang internship di Klinik Pelangi


“Skizofrenia  adalah penyakit mental yang ditandai dengan adanya delusi dan halusinasi.  Penyebabnya bisa dari genetik dan bisa diperkuat dari faktor lingkungan  juga . Jenis dari Skizo berbagai macam seperti skizo paranoid dan skizo afektif , yaitu skizofrenia yang dibarengi dengan episode-episode , misalnya terjadi dua minggu sekali danterjadi hanya dalam beberapa waktu. 

Ciri-ciri penderita skizo adalah muncul delusi dan halusinasi selama 6 bulan konsisten. Delusi yang berbagai macam jenisnya seperti  contoh di kejar-kejar merasa bahwa dia orang penting dan  delusi tersebut biasanya terkait dengan kondisi-kondisi yang dia hadapai seperti  contoh diatas penderita yang merasa ia selalu  diawasi , contoh lain yang umum yaitu  penderita tidak mendapat perhatian dari keluarga atau mendapatkan perhatian tapi dengan cara yang salah , ia diatur sedemikian rupa, sehingga dia merasa terkekang dengan lingkungannya.  

Sedangkan halusinasi yaitu bisa mendengarkan suara atau merasakan  hal-hal yang sebenarnya tidak nyata, seperti contoh mendengar suara bom padahal orang normal tidak bisa mendengar sama sekali . Penderita skizo susah untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang bayangannya.

Skizofrenia bisa diobati dengan pemberian obat penghilang halusinasi dan memang harus dikontrol  skala berkala oleh psikolog atau psikiatri hingga sembuh total”, jelas Irene Raflesia, M.Psi,Psikolog Klinis dewasa di Klinik Pelangi
 

Minggu, 02 April 2017

PEDOFILIA DAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

 
ditulis oleh
Widad Zahra Adiba
Mahasiswa Psikologi Universitas Johannes-Gutenberg Mainz, Jerman
yang saat ini sedang internship di Klinik Pelangi

Kabar terbaru belakangan ini yang cukup memprihatinkan, terutama bagi para orang tua adalah ditemukan akun grup Facebook bernama Loly Candy Official  yang memuat kurang lebih 600 foto dan video ponografi anak usia di bawah umur. Karena korbannya adalah anak anak, banyak orang yang salah kaprah mengatakan bahwa pemilik dan anggota Akun FB tersebut adalah ‘Pedofil’. Nyatanya, tidak semua pelaku kekerasan terhadap anak adalah penderita Pedofilia.

Untuk mengetahui apakah sesorang penderita Pedofilia atau tidak, membutuhkan waktu yang tidak singkat dan hanya dapat dilakukan oleh psikiater forensik. Dikutip dari  siaran pers PAI (Proklamasi Anak Indonesia) oleh Mamik Sri Supatmi, Dosen Kriminologi UI, “Mendefinisikan pelaku kejahatan seksual pada anak sebagai Pedofil dan pendefinisian Pedofil terhadap tersangka akun Grup FB Loly Candy tanpa pemeriksaan medis tidak dibenarkan dan dikhawatirkan menimbulkan masalah baru”. Potensi meringankan atau menghapus kesalahan orang dengan penyakit jiwa dapat ditemukan pada peraturan Undang-Undang Hukum, pasal 44 KUHP sehingga menyebut pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai Pedofilia berpotensi untuk digunakan sebagai alasan pemaaf bagi para pelaku. Oleh karena itu, sebaiknya penyebutan Pedofilia dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual diganti dengan sebutan pelaku kekerasan seksual anak.

Apa itu sebenarnya Pedofilia? Menurut Diagnostic and Statistic Manual edisi kelima (DSM-5), Pedofilia merupakan salah satu bentuk gangguan Parafilia atau preferensi seksual yang tidak lazim, seperti ketertarikan seksual berupa fantasi seksual, dorongan seksual, dan perilaku seksual yang melibatkan aktivitas seksual pada anak-anak pra-puber. “Secara fisik memang penderita Pedofilia tidak terlihat berbeda. Namun secara psikologis, Pedofil mengalami arouse atau rangsangan terhadap anak-anak. Jadi biasanya mereka senang mengamati anak-anak, senang melihat gambar atau foto anak-anak, terlihat senang berinteraksi atau berada di sekitar anak-anak, dsb. Namun itu semua bertujuan untuk kepuasan seksual penderita Pedofilia. Karena adanya masalah orientasi seksual, Pedofil juga biasanya mengalami masalah dalam sosialisasi dengan orang yang sebaya atau dengan lingkungan secara umum. Ia bisa menjadi seorang yang penyendiri, terlihat tertutup, dan biasanya tidak aktif secara sosial. Membantu seorang pelaku Pedofilia untuk memiliki kemampuan sosial yang memadai adalah salah satu bentuk terapi untuk memulihkan gangguan Parafilia ini”, jelas Sinta Mira M.Psi, selaku Psikolog Klinis Dewasa dari Klinik Pelangi. Jika ditemukannya kesamaan pada ciri-ciri Pedofilia di atas, disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke Psikiatri, Psikolog, atau bisa konsultasi lebih lanjut di Klinik Pelangi di Kota Wisata Cibubur.
Lalu bagaimana cara penanganan penderita Pedofilia? “Penanganannya cukup kompleks karena biasanya para penderita Parafilia tidak mencari bantuan untuk gangguannya. Penanganan pada akhirnya ‘dipaksakan’ karena ia tertangkap dalam kasus kekerasan seksualnya. Treatment atau intervensi penanganan Pedofilia bisa secara biologis maupun psikologis“,  tambah Psikolog Sinta.
“Secara psikologis bisa dilakukan dengan terapi modifikasi perilaku. Contohnya dengan aversion therapy yang bertujuan menghilangkan respon seksual terhadap objek atau situasi yang membuat penderita terangsang secara seksual. Tekniknya adalah dengan memberikan exposure yang tidak mengenakkan, bisa dengan suara keras atau setrum listrik dalam kadar aman saat penderita melihat gambar atau subjek yang merangsang baginya”.
“Prosedur desensitization untuk mengurangi rasa cemas juga bisa dilakukan pada penderita. Misalnya penderita diajarkan teknik relaksasi sambil perlahan membangun visualisasi relasi seksual yang normal dengan sesama orang dewasa. Terapi kognitif juga bisa dilakukan bersamaan dengan terapi perilaku, untuk membantu penderita belajar teknik sosialisasi yang bisa diterima lingkungan, tanpa melakukan hal-hal yang menyimpang secara seksual “.
Salah satu Psikolog Klinis Anak dari Klinik Pelangi, Gisella Tani Pratiwi, M.Psi menjelaskan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual anak (KSA) menyebabkan masyarakat sekarang semakin sadar bahwa kekerasan seksual adalah bentuk kriminalitas yang melanggar hukum. Kesadaran tersebut baik karena diharapkan dapat meminimalisir kasus KSA.  Psikolog yang biasa disapa Ella ini yakin bahwa masih banyak kasus kekerasan seksual anak yang belum terungkap karena masih dianggap tabu dan memalukan. Menurutnya, kemampuan negara untuk mencegah dan menangani kasus KSA masih sangat minim dan kurang baik. Oleh sebab itu, banyak pekerjaan yang perlu dilakukan bersama-sama untuk menangani KSA secara menyeluruh. Hal ini juga diakui oleh psikolog Sinta bahwa jumlah anak-anak korban kekerasan seksual pada kasus waktu lalu tersebut sangat banyak dan juga sangat memprihatinkan. “Fenomena ini seperti gunung es, dimana pastinya banyak sekali hal yang harus dibereskan dari dasarnya, terutama dalam penanganan para korban, penanganan para pelaku, penanganan para ‘penikmat’ video di grup FB tersebut, dan juga memberikan edukasi bagi para orang tua korban. Banyak sekali masalah yang harus dibereskan dari kasus ini”, tegas psikolog Sinta.
Tentu  kasus ini juga membuat orang tua was-was akan sang buah hati. Lalu apa saja hal yang bisa dilakukan orang tua untuk melindungi buah hatinya dari kekerasan seksual? Berikut ini adalah tips dari psikolog Sinta dan psikolog Ella :
  1. Pengawasan yang cukup pada anak
Disarankan orang tua perlu memiliki pengawasan yang cukup ketat pada anaknya. Ketat dalam artian orang tua harus mengetahui dengan siapa saja anak berinteraksi setiap harinya. Pelaku kekerasan seksual bisa mendekati anak dengan cara-cara yang tersamar sehingga seringkali orang tua kurang waspada. Kerjasama dengan pihak sekolah, pengasuh, dan mereka yang berinteraksi dengan anak sehari-hari, harus terjalin dengan baik sehingga meskipun orang tua bekerja, orang tua masih  bisa mengawasi anak terus-menerus lewat bantuan pengawasan orang-orang terdekat.
  1. Berikan pengetahuan sex education pada anak sejak dini
Orang tua harus membekali anak dengan pengetahuan tentang sex education sejak dini, tetapi tentunya pilih yang sesuai dengan taraf kematangan anak. Saat ini banyak buku dan media ajar bagi anak untuk memberikan pemahaman mengenai sex education yang sesuai untuk tahapan usia anak. Misalnya mengajarkan anak untuk bisa menolak dengan tegas kalau ada orang lain yang ingin menyentuhnya di bagian tubuh yang tertutup pakaian dalam, dan lainnya. Berikut adalah panduan mengenai hal ini :
  • Pada anak usia TK sampai SD  kelas 3 atau 4 : perlu mengenali bagian-bagian anggota tubuh serta fungsinya,  mengetahui bagian tubuh yang pribadi atau private (bagian tubuh yg ditutupi pakaian dalam dan juga bagian mulut) yang tidak boleh disentuh atau diperlihatkan kepada  sembarang orang, kemudian ajarkan sentuhan aman dan tidak aman. Sentuhan aman  yang dimaksud adalah yang  bertujuan membuat  sehat dan bersih, seperti ketika diperiksa dokter. Selain itu menghargai tubuh dengan berani berkata tidak ketika ada yg memaksa melakukan sentuhan tidak aman pada bagian tubuh pribadi (private)
  • Pada anak usia pra remaja dan remaja : perlu ditambahkan tentang edukasi   mengenai perubahan-perubahan yang akan atau telah dialami ketika pubertas, mulai dari perubahan fisik hormonal sampai perubahan  psikologis seperti adanya dorongan seksual, emosi yang fluktuatif, dan sebagainya.  Selain itu, terbukalah akan hal-hal khusus yang  menjadi perhatian atau masalah pada remaja  sehingga remaja  dapat berdiskusi dengan orang yang tepat.
Terkadang orang tua merasa canggung untuk membicarakan hal hal yang berbau sex education kepada anak, memberikan buku yang mengajarkan sex education juga bisa menjadi sarana bagi para orang tua, seperti buku yang berjudul ‘Ngobrol Soal Tubuh dan Seksualitas’ oleh Kristi Poerwandani dan Habsjah.
  1. Pengawasan akses sosial media pada anak
Sebaiknya anak-anak tidak diberikan akses ke sosial media hingga usianya cukup matang secara emosi. Penggunaan gadget untuk akses ke sosial media juga harus diawasi dan kalaupun dilakukan, orang tua harus punya akses juga ke sosial media anaknya.
  1. Bangun komunikasi dan relasi yang hangat dengan anak
Orang tua perlu membangun komunikasi dan relasi yang hangat dengan anak agar anak mau terbuka menceritakan segala kejadian yang menimpanya. Orang tua juga perlu berdiskusi dengan anak mengenai pergaulan anak, maraknya informasi dan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Tujuannya agar anak tidak segan dan tidak malu bertanya kepada orang tua, terutama terkait dengan isu seksualitasnya. Akan lebih baik bila anak bertanya kepada orang tuanya daripada bertanya kepada teman atau mencari tahu di internet yang tidak jelas sumber kebenarannya.
  1. Bimbing dan ketahui aktivitas yang anak lakukan, arahkan anak pada kegiatan positif  dengan  lingkungan yang membawa pengaruh baik bagi anak
Orang tua perlu mengetahui aktivitas keseharian yang dilakukan anak. Arahkan anak untuk mengikuti kegiatan positif yang berguna bagi dirinya, misalnya mengikuti kegiatan ekstrakulikuler seni, olahraga serta kegiatan organisasi ataupun komunitas yang sesuai dengan hobi.


Narasumber :
  • Sinta Mira, M.Psi, Psikolog Klinis Dewasa di Klinik Pelangi
http://klinikpelangi.com
      http://klinikpelangi.com

Sumber Referensi:
DSM-5 (Diagnostic and Statistic Manual edisi kelima). (2013). Arlington, USA : American
Psychiatric Association.
PAI (Proklamasi Anak Indonesia). (2017). Artikel Siaran Pers: Hentikan Penyebutan Pedofil
Untuk Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Indonesia : Jakarta.
Poerwandani, K. dan Habsjah, A. (2006). Buku ‘Ngobrol Soal Tubuh dan Seksualitas’.
Jakarta : Penerbit Program Kajian Wanita Program Pascasarjana UI
 

Sabtu, 01 April 2017

Pentingnya Mengajarkan Toleransi dan Mengenalkan Anak tentang Keberagaman Sejak Dini

ditulis oleh  
Widad Zahra Adiba
Mahasiswa Psikologi Universitas Johannes-Gutenberg Mainz, Jerman
yang saat ini sedang internship di Klinik Pelangi

Sudah banyak sekali contoh yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari dan di seluruh belahan dunia tentang semakin menipisnya nilai toleransi. Seperti halnya  di Amerika serikat, ada ketidaksetaraan terhadap masyarakat kulit hitam sejak dulu, kemudian saat ini muncul beberapa kebijakan yang tidak ramah terhadap imigran. Di beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Mesir memberikan kelompok pria quota yang lebih besar dibandingkan perempuan untuk mengakses ruang publik dan bidang profesional. Contoh lainnya di Indonesia semasa proses kampanye pemilihan gubernur DKI Jakarta yang sempat diwarnai oleh isu SARA serta turut menimbulkan percekcokan di berbagai kalangan.

Yang memprihatinkan adalah nasib generasi muda bangsa kita, dikhawatirkan mengikuti arus zaman yang semakin lama semakin kehilangan makna toleransi antarsesama. Padahal toleransi sangat penting untuk diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari agar dapat mudah menerima perbedaan tanpa menghakimi satu sama lain yang nantinya bisa menimbulkan masalah-masalah baru. Seperti yang dialami oleh penulis sendiri, yang adalah seorang Mahasiswa Indonesia yang sekarang kuliah dan hidup di Jerman. Di sana, baik itu di Universitas, di tempat kerja sambilan, di lingkungan tempat tinggal, dan lainnya kita pasti bertemu dengan teman-teman baru dari cakupan internasional. Tidak hanya yang berasal dari Jerman saja, banyak juga yang datang dari negara lain, seperti Amerika, Jepang, Brazil, Albania, Ekuador, Korea, dan masih banyak lagi dengan latar belakang yang berbeda. Untuk dapat berbaur dan bekerja sama, kita perlu terbuka dan menerima perbedaan tersebut. Dengan adanya toleransi, pikiran terbuka, dan saling menghargailah yang membuat kita semua berteman.

Banyak orang tua di Indonesia yang memilih menyekolahkan anak di sekolah yang homogen, seperti sekolah berbasis agama, dengan berbagai tujuan. Hal ini tidaklah salah, melainkan pengelompokan pada suatu kelompok tertentu yang terkadang membuat sulit untuk mengenalkan anak bahwa sebenarnya Indonesia adalah negara yang sangat beragam, dari segi  agama, budaya, bahasa daerah, suku, ras  dan lainnya.
“Kita perlu memperkenalkan kepada anak-anak kita bahwa dari lingkungan yang homogen masih ada lagi lingkungan lain di luar sana yang beragam. Sebenarnya Indonesia adalah lingkungan yang heterogen, beragam budaya, suku, agama, dan ras. Tetapi sangat disayangkan saat ini karena pengaruh budaya luar yang lebih kuat daya tariknya, banyak yang melupakan budaya Indonesia sendiri”, ungkap Masniarita Siburian Silalahi, atau yang biasa disapa Rita, pengelola dan pendiri Indonesian Cultural Adventure (ICA), lulusan dari Anglia Ruskin University Cambridge Inggris. Menurut Rita, makna toleransi adalah kita bisa menerima sesama kita, bisa menerima perbedaan. Kita adalah sama-sama manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan menciptakan kita seorangpun tidak ada yang sama, jadi kita harus selalu menghargai dan menerima satu sama lain. Lewat  program-program ICA, Rita biasanya mengajarkan anak-anak tentang toleransi dan keberagaman dengan cara yang asyik dan fun sehingga dapat lebih mudah diterima oleh anak anak. Seperti melakukan perjalanan ke kota-kota yang ada di Indonesia, yaitu Padang, Solo, Bogor, dan lainnya. Di sana anak-anak bisa belajar langsung tentang kebudayaan dari kota tersebut. Waktu yang lalu ICA dalam programnya yang bernama ‘Jejak Pluralisme Jakarta’ mengunjungi Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, dan Wihara. Di sana  anak-anak belajar banyak tentang pluralisme.

“Perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, karena setiap orang tentunya berbeda-beda. Anak kembar sekalipun pasti berbeda, dari sifat, kebiasaan, sampai kepribadiannya. Ketika kita hidup bermasyarakat, kita perlu mengembangkan sikap toleransi agar kita dapat menghargai orang lain yang berbeda dari kita, seperti perbedaan pendapat, perilaku, kebiasaan, karakter, dan lain-lain”, jelas Reneta Kristiani M.Psi., seorang Psikolog Klinis Anak dari Klinik Pelangi di Kota Wisata, Cibubur mengenai pengertian toleransi. Psikolog yang biasa disapa Neta ini menjelaskan bahwa setiap orang itu diciptakan Tuhan unik dengan perbedaan masing-masing. Oleh karena itu, perbedaan sebaiknya bukan menjadi sumber konflik atau suatu bahan cemoohan atau ejekan, tetapi justru dengan perbedaan itu sendiri dunia menjadi kaya akan keberagaman, indah, dan tidak membosankan”. Sangat penting mengajarkan toleransi kepada anak agar anak bisa menghargai orang lain yang berbeda darinya. Berikut tips-tips yang bisa dilakukan orang tua di rumah untuk mengajarkan anak tentang toleransi dan mengenalkan pada keberagaman :

   1. Mengenalkan perbedaan dari lingkungan terkecil
psikologneta“Toleransi bisa diajarkan kepada anak mulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga.  Dari keluarga anak bisa mulai mempelajari bahwa dirinya berbeda dari saudara  dan orang tuanya sendiri, meskipun mirip tetapi pasti ada hal yang berbeda dari ciri fisik, seperti jenis rambut, warna kulit, bentuk mata, hidung, telinga, bibir, dsb. Kemudian perbedaan sifat, perilaku, hobi, kebiasaan sampai karakter dan kepribadian. Sebagai contoh perbedaan hobi, kakak suka bermain permainan yang membutuhkan motorik kasar, seperti lompat tali, bermain bola, bersepeda, sedangkan adik lebih suka bermain lego, mobil-mobilan, mewarnai yang lebih mengandalkan keterampilan motorik halus. Dari contoh perbedaan tersebut, orang tua perlu mengajarkan anak bahwa perbedaan itu unik dan kita sepatutnya menerima perbedaan tersebut”, tutur psikolog Neta.
  1. Belajar menghargai pendapat orang lain
Seringkali kita temukan dalam keluarga adanya perbedaan pendapat. Contoh kecil adalah adik ingin makan di restoran A, tetapi kakak ingin makan di restoran B. Orang tua sebaiknya menengahi dan memberikan solusi agar anak bisa belajar untuk menghargai perbedaan pendapat tersebut dan berdiskusi untuk mencapai kesepakatan. Misalnya, minggu ini makan di restoran A terlebih dahulu dan minggu depan makan di restoran B sehingga anak terbiasa untuk mengungkapkan pendapatnya dan juga menghargai pendapat orang lain yang berbeda darinya serta dapat menyelesaikan masalah dengan bermusyawarah untuk mencapai mufakat.
  1. Mengajarkan anak untuk saling berbagi
Jika anak sejak dini sudah diajarkan untuk saling berbagi, kelak dewasa nanti akan menjadi terbiasa untuk berbagi tanpa memilih-milih dan membeda-bedakan orang lain. Anak perlu diperkenalkan dengan berbagai komunitas yang berbeda dengannya, misalnya belajar berbagi dengan anak-anak lain di Panti Asuhan.
  1. Mengajarkan anak untuk bermain dengan siapa saja
Setelah lingkungan keluarga, sekolah adalah lingkungan kedua yang ditemui anak. Di sekolah tentunya anak akan menemui teman yang berbeda dari dirinya, karena teman-teman tersebut dibesarkan di lingkungan keluarga yang berbeda darinya. Walaupun di dalam sekolah homogen sekalipun, pasti tetap saja ada perbedaan, seperti fisik, kebiasaan, pola asuh keluarga, dsb. Sebaiknya orang tua jangan bosan-bosan mengajak anak berbicara dan bertanya mengenai siapa saja teman bermainnya. “Tekankan kepada anak untuk bermain dengan siapa saja, tidak memilih-milih teman bermain dan tidak membeda-bedakan. Memberikan anak-anak kesempatan bermain dengan tetangga yang beraneka ragam juga sangat disarankan”, ungkap Rita.
  1. Berkumpul dengan keluarga besar
“Ajak anak berkumpul bersama keluarga besar, sehingga anak dapat lebih mengenal keluarga besar dan perbedaan karakter masing-masing orang dalam keluarga besar” tutur Rita.
  1. Ajarkan anak untuk fleksibel
“Selain itu, fleksibilitas sangat penting agar anak dapat menerima perbedaan dan juga belajar bermasyarakat, karena di masyarakat kita tidak bisa memaksakan pandangan orang lain harus sama dengan pandangan yang kita miliki. Kita justru harus terbuka, open mind untuk bisa beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berbeda.Jika anak kita sudah besar dan akan kuliah di luar kota, anak tentu harus belajar beradaptasi di lingkungan setempat. Belum lagi jika harus kuliah keluar negeri yang nantinya perlu belajar mengenal perbedaan di luar negeri, misalnya mengetahui adat istiadat dan budaya masyarakat setempat serta berbagai peraturan di negara tersebut. Oleh sebab itu, untuk mencegah culture shock (gegar budaya), anak perlu belajar beradaptasi dan bertoleransi menerima perbedaan yang ada”, jelas psikolog Neta.
  1. Mengajarkan anak tentang toleransi lewat dongeng, buku cerita atau film
Jika anak sudah agak besar, anak bisa diajak berdiskusi lewat film-film yang mengandung  unsur toleransi, seperti  film Zootopia. Film itu mengajarkan tentang perbedaan dan pentingnya untuk tidak menilai orang sesuai dengan ras-nya (stereotype). Contohnya kelinci yang dianggap sebagai makhluk yang lemah, justru di d alam film ini kelinci digambarkan sebagai sosok yang gesit dan dapat menjadi seorang polisi hebat yang melawan penjahat. Demikian juga dengan rubah yang dicap (labelling) sebagai binatang yang licik. Padahal tokoh rubah dalam film ini ingin dapat berbuat baik. Akibatnya karena merasa tidak dipercaya oleh lingkungan sekitarnya, ia pun berperilaku sesuai dengan apa yang dicap orang lain, menipu orang lain. Dari film tersebut tekankan kepada anak bahwa berteman itu tidak boleh melihat orang dari luarnya saja atau dari stereotype orang- orang. “Penting untuk tidak saling mengejek atau melabel seseorang dari ciri fisik tertentu, ras, suku ataupun agama. Ajarkan kepada anak bahwa yang terpenting adalah hati dan prestasinya, bukan dari atribut yang sudah terberi sejak lahir (seperti ciri fisik, warna kulit, dll)”, jelas psikolog Neta. Selain itu, buku-buku cerita tentang kebudayaan juga bisa menjadi sarana untuk memperkenalkan anak pada keberagaman dan toleransi, contohnya buku dongeng berjudul ‘Ya, Kami Berbeda’ , ‘Ketika DamDam Kehilangan Wajahnya’, ‘Barongan Kecil’, ‘The Ugly Duck‘, dsb.

  8. Mengajarkan anak untuk menerima diri apa adanya
Banyak iklan-iklan yang mengubah image orang lain terhadap dirinya sendiri, seperti iklan kecantikan memberikan image bahwa cantik itu harus berkulit putih, berambut panjang dan langsing, sehingga anak menjadi kurang percaya diri jika dirinya tidak sama dengan image yang diberikan oleh iklan tersebut. Padahal sebenarnya standard kecantikan itu berbeda-beda. Penting bagi anak untuk menerima dirinya apa adanya dan tidak terpengaruh iklan. Ajarkan anak untuk menghargai diri sendiri agar dapat terbentuk konsep diri yang baik sehingga anak tidak membeda-bedakan orang lain dan mengejek orang lain hanya karena ciri fisiknya yang berbeda.

 9. Doronglah anak supaya bergaul, tidak hanya sibuk belajar di sekolah
Jika anak sudah mulai beranjak remaja, ajak anak untuk ikut aktif dalam kegiatan berorganisasi. Karena dari pergaulan tersebut, anak bisa mengenali karakter orang lain dan belajar untuk menerima perbedaan, kelemahan dan kelebihan teman-temannya. Jika anak dari kecil susah bergaul, nanti saat dewasa kelak dikhawatirkan tidak bisa menerima perbedaan orang di lingkungannya, merasa dirinya paling benar, egois  dan tertutup.

Narasumber :
  1. Masniarita Siburian Silalahi (Rita), pengelola dan pendiri ICA (Indonesian Cultural Adventure) http://www.cultureofindonesia.info/
  2. Reneta Kristiani, M.Psi. (Psikolog Neta), Psikolog Klinis Anak di Klinik Pelangi http://klinikpelangi.com

Sumber Referensi :
http://print.kompas.com/baca/sosok/2017/02/03/Menyemai-Cinta-pada Keberagaman
http://kompasprint.com/vod/ungkidanrita
http://www.cultureofindonesia.info/

Contoh Buku Mengenal Keberagaman :