Minggu, 23 Agustus 2015

Bagaimana Memilih Sekolah Untuk Anak?


Ditulis oleh
Margaretha Wirjadi
Pendiri dan Kepala Sekolah Phoenix Kids Menteng
serta Instruktur Yoga Anak Klinik Pelangi Cibubur


Bagi pasangan yang memiliki anak usia balita, sering kali timbul pertanyaan :
“Sekolah dimana anak kita?”
“Apakah yang tempat bermainnya besar?”
“Apakah yang banyak peralatannya?”
“Sekolahnya keren nggak yah?”
“Sekolahnya mahal nggak yah?”
“Sekolah yang lagi trend yang mana nih?”
“Apakah diajarkan bahasa Mandarin dan Inggris?”
“Pokoknya anak kita harus bisa baca tulis dan matematika!”
“Anak kita harus rangking!”
dan masih banyak lagi pertanyaan serta tuntutan orang tua terhadap bakal sekolah anaknya. Bisakah anda bayangkan begitu banyaknya tuntutan dari orang tua pada saat anaknya baru mulai sekolah?

Dewasa ini anak-anak memulai bersekolah lebih awal dari jaman dahulu. Ada yang memulainya saat berumur 2 tahun, bahkan ada yang mulai dari usia 6 bulan. Beban berat sudah dipikul oleh anak sejak usia dini. Padahal sang anak akan belajar di bangku sekolah selama kurang lebih 20 tahun. Ya… 20 tahun, dimulai dari Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga bangku kuliah.

“Bagaimana memilih sekolah yang sesuai untuk anak saya?” menjadi pertanyaan yang ada di benak setiap orang tua. Pemilihan sekolah yang tepat akan membantu mengembangkan potensi anak, karena disanalah seorang anak pertama kali mengenal dunia luar dan keluar dari zona nyamannya.

Beberapa tips yang harus diperhatikan orang tua dalam memilih sekolah anak, diantaranya:

1.      Jarak dari rumah ke sekolah.
Pilihlah sekolah yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dari rumah. Bila anak terlalu lama menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah, mereka akan menjadi terlalu lelah di jalan dan cenderung moody.

2.      Kurikulum sekolah tersebut.
Jangan sungkan untuk menanyakan kepada pihak sekolah apa yang menjadi fokus pendidikannya. Apakah sekolah menitik beratkan pada akademik atau perkembangan anak? Apakah kurikulum sekolah tersebut disesuaikan untuk setiap tahapan perkembangan usia anak?

3.      Observasi ke sekolah.
Kunjungi dan lakukan observasi pada saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan. Beberapa sekolah usia dini (Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak) memberikan trial class bagi calon muridnya, dimana anak dan orang tua dapat mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir. Gunakan kesempatan ini untuk melihat bagaimana interaksi antara guru dan anak.

4.      Perbandingan guru dan murid.
Berapa jumlah anak dalam setiap kelas dan berapa guru untuk kelas tersebut? Kelas yang anaknya berumur lebih muda, seperti 2 – 4 tahun membutuhkan lebih banyak perhatian dibandingkan anak usia Taman Kanak-kanak. Namun perlu diingat, guru juga harus berbagi terhadap anak lain.  Oleh karena itu rasio guru dan murid sangatlah penting.

5.      Kegiatan sekolah tersebut.
Apakah sekolah membebani anak dengan akademik atau memang disesuaikan dengan perkembangan anak? Bagaimana perbandingan antara pelajaran di dalam kelas dan di luar kelas?

6.      Biaya dari sekolah tersebut.
Orang tua harus mempertimbangkan biaya pendidikan anaknya secara matang. Tanyakan pada sekolah apakah ada biaya-biaya lain di luar biaya uang pangkal dan uang sekolah yang dibayarkan setiap bulannya. Biaya-biaya seperti seragam, buku, bahan, kegiatan, field trip, graduation, dll, sebaiknya diketahui sejak awal.

Dibutuhkan peran dan kebijaksanaan orang tua dalam memilih sekolah. Jangan hanya sekedar mengikuti trend dalam menyekolahkan anak, tetapi pilihlah sekolah yang sesuai dengan karakter anak kita, karena kita ingin dia berkembang sesuai dengan kemampuannya.


Harus diingat, setiap anak adalah unik dan waktu dia di bangku sekolah masih akan cukup panjang. Memulai bersekolah dengan pengalaman yang menyenangkan akan membantu menyiapkan mereka untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Minggu, 16 Agustus 2015

KOMPETISI

psikologneta
ditulis oleh Reneta Kristiani, M.Psi
Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi

Di era globalisasi sekarang ini segala sesuatu dituntut untuk berkompetisi, bahkan anak-anak sekalipun. Lihatlah bagaimana anak-anak sudah harus mengikuti tes masuk untuk masuk SD, bahkan di TK pun sudah banyak yang menerapkan seleksi masuk. Jadi yang bisa diterima hanyalah anak-anak dengan tingkat inteligensi yang biasa ditandai dengan skor IQ rata-rata ke atas. Ketika sudah masuk sekolah pun, mereka tetap harus berkompetisi meraih nilai yang terbaik yang nantinya akan menentukan mereka masuk ke kelas unggulan atau tidak. Ada rasa bangga pada orang tua apabila anak mereka dapat berada di kelas unggulan sehingga orang tua pun mendorong anaknya untuk meraih nilai yang baik, apapun caranya. Bahkan ada beberapa sekolah yang menerapkan sistem akselarasi dimana anak bisa menempuh pendidikan hanya dalam waktu singkat. SD yang tadinya 6 tahun dapat menjadi 5 tahun, SMP & SMA yang 3 tahun menjadi 2 tahun. Apabila anaknya hanya mendapat nilai 70 / 80 (yang sebenarnya sudah melebihi nilai KKM yaitu 60/65), orangtua akan marah dan terus mendorong anak-anaknya untuk meraih nilai lebih tinggi lagi yaitu 90/100. Akhirnya orangtua akan menjejali anak-anaknya dengan banyak les pelajaran seperti Matematika, Science, Bahasa inggris, dll. Anak-anak kehilangan waktu bermain dan beristirahat mereka, pulang sekolah mereka harus tetap belajar dan belajar.
Namun di satu sisi lain, anak seperti kehilangan tujuan hidup. Hidup mereka semata-mata hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus untuk mata pelajaran tertentu. Ketika ditanya mereka mau jadi apa saat dewasa kelak, banyak dari mereka yang bingung mau jadi apa. Ketika ditanya apa minat dan hobi mereka, mereka pun bingung karena hidup mereka selama ini diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Mereka juga sulit berhubungan sosial dengan orang lain, karena motivasi mereka selalu ingin berkompetisi menjadi yang terbaik dari orang lain.
Dapatkah kita bayangkan bagaimana mereka kelak hidup bermasyarakat ?
Akankah kita biarkan generasi penerus bangsa seperti itu?
Hanya hebat di Matematika atau Science tetapi tidak bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari?
Sulit untuk bisa menerima perbedaan dan kelemahan orang lain karena tidak semua orang pintar Matematika atau Science?
Marilah kita mengembangkan juga keterampilan sosial mereka!
Marilah kita memperhatikan juga perkembangan emosi mereka!
Karena di dalam hidup ini, anak-anak juga perlu belajar pemecahan masalah dan cara-cara mengendalikan emosi.
Marilah kita kembangkan juga kreativitas mereka !
Berilah mereka ruang untuk mengenali diri mereka sendiri. Apa kelebihan dan kekurangan mereka, apa minat dan hobi mereka, ijinkan mereka berkreativitas sebebas mungkin melalui kegiatan bermain. Bermain sebenarnya juga mengajarkan mereka cara pemecahan masalah. Melalui bermain, anak juga belajar menyalurkan emosinya dengan cara yang sehat. Masalah apa yang sedang anak pikirkan akan muncul melalui tema-tema dalam bermain. Anak akan merepresentasikan emosi yang ia rasakan melaui alat-alat permainan tersebut.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Semoga dengan lebih memahami anak-anak, kita  dapat lebih peka akan kebutuhan mereka. Biarkanlah anak-anak berkembang sesuai dengan usianya. Untuk kehidupan anak-anak yang lebih baik. Demi generasi penerus bangsa karena di tangan anak-anaklah, masa depan bangsa Indonesia.
Selamat menyambut hari kemerdekaan Indonesia!

Sabtu, 01 Agustus 2015

Perkenalkan Psikolog Dewasa di Klinik Pelangi





   Seorang Psikolog lulusan Magister Profesi Psikologi Klinis Dewasa UI yang berpengalaman menangani permasalahan seputar kesehatan mental remaja maupun dewasa. Masalah-masalah yang pernah ditangani antara lain tentang masalah stres kerja, stres terkait penyakit kronis, ketergantungan obat-obatan terlarang (adiksi), gangguan emosional dan juga orientasi seksual. Memiliki minat dalam menangani kasus terkait hubungan romantis, orientasi seksual (LGBT), dan dukacita.

Remaja dan Tips Menghadapi Mereka


dinda 3
ditulis oleh Dinda Aisha, M.Psi., Psi.
Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi

Apakah anda orang tua yang memiliki anak yang sudah beranjak remaja? Apakah anda merasa khawatir sampai pusing dalam menyikapi perilaku-perilaku mereka? Artikel ini akan sedikit memberikan gambaran mengenai remaja dan bagaimana orang tua merespon terhada perilaku anak yang sudah beranjak remaja?
Seorang anak disebut sudah remaja apabila ia sudah berusia kurang lebih 13 tahun ke atas. Masa ini adalah masa transisi antara masih menjadi anak-anak dan mempersiapkan diri menjadi dewasa. Di satu sisi mereka tidak lagi anak-anak, tetapi di sisi lain mereka belum siap untuk menjadi dewasa. Mereka biasanya mudah terdeteksi melalui perubahan fisiknya, yaitu mulai menstruasi, tumbuh buah dada, bentuk badan mulai berubah, mulai muncul jerawat untuk perempuan dan untuk laki-laki mulai tumbuh kumis, jenggot, suara mulai berubah dan sebagainya. Perubahan fisik ini diakibatkan oleh perubahan hormon yang ada di dalam tubuh anak. Perubahan hormon-hormon ini mengakibatkan perubahan kondisi emosinya menjadi lebih labil (sering berubah-ubah) dan mudah tersinggung.
Sebagian dari mereka terkadang tidak mau mengikuti aturan karena mereka beranggapan mengikuti aturan adalah hal yang kuno dan tidak cool. Selain itu, mereka juga merasa bahwa teman adalah segala-galanya. Mereka ingin selalu bersama teman-teman, curhat dengan teman, berkumpul dengan teman, mengikuti apa yang teman lakukan, dan sebagainya. Hal ini menandakan bahwa penerimaan dari teman merupakan hal yang penting pada remaja. Namun di sisi lain, mereka juga masih butuh perlindungan dari orang tua. Maka dari itu orang tua juga perlu membangun komunikasi yang tepat dengan remaja agar ketika remaja memiliki masalah, mereka juga akan mencari perlindungan dan pendapat dari orang tua. Apabila komunikasi tidak terjalin dengan baik, maka remaja bisa mencari solusi dari teman atau bahkan lari ke hal-hal yang sangat tidak kita inginkan seperti narkoba, minuman keras dan sebagainya.
Nah, pola pengasuhan setiap tahapan perkembangan memang memiliki tantangannya tersendiri, sebagai contoh mengasuh anak yang baru lahir perlu kehati-hatian. Mengasuh anak batita dan balita, membutuhkan pengetahuan dan pemberian stimulasi yang maksimal. Begitu juga penerapan pengasuhan kepada remaja. Beberapa tips untuk orang tua yang memiliki anak remaja adalah :
  • Ingatlah bahwa orang tua pernah remaja. Coba beberapa saat kembali lagi mengingat masa-masa ketika anda remaja. Apa yang akan anda lakukan dan apa yang anda inginkan orang tua lakukan kepada anda. Hal ini dapat membuat orang tua menjadi lebih peka terhadap kondisi remaja dan memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh remaja.
  • Tetap mempertahankan komunikasi yang positif. Jadilah orang tua, begitu juga teman bagi anak anda yang beranjak remaja. Mereka menginginkan orang tua yang memahami kondisi remaja, seperti apa yang sedang tren di kalangan remaja, apa yang sedang menjadi bahan perbincangan mereka, apa yang mereka sukai, bagaimana cara mereka berpikir dan sebagainya. Cobalah dengarkan apa yang anak anda ceritakan dan hindari pelabelan seperti “nakal”, “jelek”, dan sebagainya. Salah satu bentuk komunikasi yang positif adalah penggunaan I-message. Bentuk komunikasi ini adalah dengan mengutarkan apa yang anda pikirkan dan rasakan daripada menyalahkan anak anda. Sebagai contoh, ketika anda tidak menyukai anak anda pulang terlalu larut malam. Yang mungkin biasa anda katakan adalah “Kamu kemana saja? Kamu tuh sukanya pulang malam terus, kalau terjadi apa-apa bagaimana?” Sekarang coba anda bandingkan dengan mengatakan seperti ini “Bunda dan ayah sedih dan khawatir saat kamu pulang larut malam”. Coba anda bayangkan perkataan mana yang lebih enak didengar dan lebih dapat diterima oleh anak anda.
  • Apabila komunikasi sudah terjalin dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah tetap membuat disiplin di rumah. Namun, buatlah aturan disiplin yang menarik. Sebagai contoh, buatlah aturan disiplin di rumah dan diberlakukan untuk semua anggota keluarga di rumah seperti adik, ayah, maupun bunda. Diskusikan dan buat kesepakatan mengenai aturan apa saja yang akan dibuat di rumah, kemudian tuliskan di kertas dan ditempelkan di kulkas atau dinding rumah. Kemudian, siapa yang melanggar maka akan mendapatkan hukuman atau konsekuensi. Hukuman disini bukanlah hukuman yang bersifat fisik atau merugikan. Sebagai contoh, ketika ada yang melanggar maka ketika hari Sabtu atau Minggu, ia bertugas untuk membuang sampah ke luar, mencuci piring, menyapu halaman, atau menyiram bunga atau kegiatan rumah yang tidak disukai oleh anggota keluaraga.
Beberapa tips di atas bisa coba anda terapkan dengan konsisten di dalam keluarga anda. Ingatlah pekerjaan menjadi orangtua adalah pekerjaan yang memiliki tantangan tersendiri. Apabila anda bisa melewati tantangan ini dengan sukacita dan terus belajar, maka anda akan merasakan hikmahnya di kemudian hari dengan melihat anak anda juga berperilaku yang positif kepada anda ketika mereka beranjak dewasa.
Enjoy our parenthood!