Selasa, 10 November 2015

Psikolog Baru Kami

Ellya Poespitasari
Ellya Poespitasari, S.Psi, Psikolog
Psikolog lulusan S1 Universitas Indonesia dan program profesi Universitas Padjadjaran. Berpengalaman lebih dari 10 tahun dibidang assessment perusahaan dan pelatihan (in class & outbound). Juga terlibat sebagai pelatih anak berkebutuhan khusus yaitu anak dengan gangguan autistik (ASD)
noridha.weningsari
Noridha Weningsari, M. Psi., Psikolog
Seorang Psikolog Anak  lulusan Magister Profesi Psikologi Klinis Anak UI yang berpengalaman menangani permasalahan anak usia prasekolah hingga remaja, seperti gangguan fungsi kognitif, masalah emosi, anak-anak korban perceraian,

KLINIK PSIKOLOGI PELANGI
Amsterdam Boulevard i.1 No 16
Kota Wisata, Cibubur 16968
(Rumah Ballet Destreza dan Elfa’s Music Course )
klinikpelangi@gmail.com
0812-911-86-736
https://www.google.co.id/maps/place/6%C2%B022'12.1%22S+106%C2%B057'21.9%22E/@-6.3717457,106.9592645,15z/data=!4m2!3m1!1s0x2e69937918db01bd:0xf63bb349cc368007?hl=id
Lokasi
Kami Hadir di Kota Wisata Cibubur
0812-911-86-736

Minggu, 01 November 2015

HARUSKAH ANAK KITA MENJADI KORBAN ?

psikologneta
ditulis oleh
Reneta Kristiani, M.Psi
Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi
dalam :
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter%2015.pdf

Maraknya video mirip artis akhir-akhir ini mulai meresahkan orangtua. Bagaimana tidak video tersebut dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak melalui internet dan handphone. Anak-anak semakin terpapar dengan adegan-adegan seksual yang belum layak mereka tonton. Bukan hanya itu mereka juga dapat meniru perilaku mirip artis yang adalah tokoh idola sekaligus panutan mereka. Tidak adanya sangsi social, moral, maupun hukum yang tegas membuat anak-anak menganggap tidak ada yang salah dengan perilaku tokoh idola tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini informasi sangat bebas dan mudah diakses oleh anak-anak, baik di desa maupun di kota. Tidak hanya melalui video yang mirip artis, tetapi juga televisi, internet, koran, dan majalah banyak menyajikan informasi seksual yang kurang tepat. Hal ini dapat turut memicu meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak.
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada tahun 2009 kasus kekerasan pada anak sudah mencapai 1998 kasus, sekitar 65 persen diantaranya, merupakan kasus kekerasan seksual (http://www.antaranews. com). Padahal sebelumnya, pada tahun 2008 kasus kekerasan seksual pada anak sudah meningkat 30 persen menjadi 1.555 kasus dari 1.194 kasus pada tahun 2007. Dengan kata lain setiap harinya terdapat 4,2 kasus (http://www.tempointeraktif.com).
Data tahun 2008 yang diperoleh LBH APIK Jakarta menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan atau kejahatan seksual terhadap anak sebanyak dua kali lipat sebesar 35 kasus dari tahun sebelumnya yang mencapai 16 kasus. Hal yang memprihatikan adalah untuk kasus jenis perkosaan dan percabulan, tersangkanya masih berusia anak-anak 10 hingga 17 tahun (http://megapolitan.infogue.com). Dari klien yang datang ke PULIH tercatat ada 7 kasus kekerasan seksual anak pada bulan September 2009 hingga Juni 2010. Data yang dilaporkan lebih sedikit dibandingkan data yang sebenarnya ada. Hal ini disebabkan tidak semua anak yang mengalami kekerasan seksual mau melaporkan kejadian yang dialami ke orangtua maupun pihak yang berwajib.
Hal yang penting dilakukan adalah memberikan pendidikan seksual atau pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak-anak sedini mungkin, perlu dilakukan oleh orangtua dan pihak sekolah agar anak tidak mendapatkan informasi yang salah dari teman, internet, maupun media lainnya. Orangtua terkadang mengalami kesulitan membicarakan tentang seksualitas kepada anaknya, menganggap hal tersebut masih tabu, ketika anak bertanya kepada orangtua mengenai seksualitas. Orangtua justru memarahi anak dan memerintahkan anak untuk tidak membicarakannya di depan orangtua. Akibatnya anak menjadi takut bertanya ke orangtua.Padahal ketika anak bertanya itu merupakan waktu yang tepat bagi orangtua untuk menjelaskan mengenai seksualitas. Didorong atas rasa keingintahuan yang tinggi, anak akan mencari jawaban atas pertanyaannya ke sumber informasi lain yang belum tentu tepat, seperti teman ataupun internet.


Langkah-langkah yang harus dilakukan orangtua ketika menjelaskan mengenai seksualitas adalah:
  1. Mendengarkan dengan cermat setiap pertanyaan anak. Posisi duduk sebaiknya sejajar, tatap mata anak agar anak merasa dirinya diperhatikan.
  2. Jangan menghindari atau mengabaikan pertanyaan anak. Jawablah segera mungkin pertanyaan anak. Menunda jawaban berarti membuang kesempatan emas berbicara mengenai seks dengan anak. Namun bila orangtua belum siap menjawab maka katakan dengan jujur kepada anak bahwa orangtua akan mencari tahu jawabannya terlebih dahulu.
  3. Berilah jawaban hanya pada pertanyaan yang diajukan anak, tidak perlu melebar ke topik yang 1. 2. 3. HARUSKAH ANAK KITA MENJADI KORBAN ? Reneta Kristiani, Psi,MSi *) Newsletter Pulih Vol. 15 Juni 2010 Bila orangtua bingung dengan pertanyaan anak, ada baiknya bertanya kepada anak tentang maksud pertanyaannya. Seperti ketika anak bertanya mengenai seks, bukan berarti anak sudah mengerti mengenai seks seperti yang dipikirkan oleh orang dewasa. Anak-anak belum mengerti konsep yang abstrak. Mereka akan mempertanyakan istilahistilah yang mereka dengar atau lihat dari televisi, internet, dll.
  4. Berikan penjelasan yang sederhana dan singkat dengan bahasa yang mudah dimengerti anak seperti ketika anak bertanya mengenai puting payudara itu apa, jawablah puting payudara adalah tempat dimana adik bayi mengisap susu dari payudara ibu. Ketika anak bertanya mengapa “punya laki-laki” berbeda dengan “punyaku”. Jawablah dengan istilah yang tepat seperti alat kelamin laki-laki itu berbeda dengan alat kelamin perempuan. Alat kelamin laki-laki disebut penis sedangkan alat kelamin perempuan disebut vagina. Bukan dengan istilah-istilah seperti “burung”, “dompet”, dll.
  5. Berikan jawaban dengan nada bicara dan ekspresi muka yang wajar. Jangan merasa tertekan ketika menjawab pertanyaan. Merespon dengan ekspresi wajah terkejut, muka memerah, dan mata terbelalak akan menimbulkan kesan pada anak bahwa pertanyaan yang diajukan salah dan bukan sesuatu yang wajar. Misalnya ketika anak bertanya mengenai kondom. Jawablah dengan tenang bahwa kodom itu adalah alat kesehatan yang dipakai ayah atau laki-laki yang sudah dewasa untuk mencegah kehamilan.
  6. Berikan jawaban yang sesuai dengan usia dan kebutuhan anak. Jawaban diberikan bertahap 4. 5. 6. sesuai dengan kemampuan berpikir dan berdasarkan pengalaman dan logika yang dipahami anak. Misalnya jika anak prasekolah (usia4 - 6 tahun) tanpa sengaja melihat hubungan seksual yang dilakukan oleh orangtuanya dan kemudian bertanya semalam ibu dan ayah sedang apa? Kok bermain kudakudaan? Jawablah itu bukan main kuda-kudaan, tetapi itu cara untuk mengungkapkan kasih sayang dan cinta antara ayah dan ibu. Itu hanya dilakukan oleh suami-istri yang sudah dewasa, bukan oleh anak-anak.
  7. Berikan informasi bertahap dan terus-menerus agar anak dapat menyerap informasi dengan baik dan tertanam dalam pikirannya sehingga dapat menjadi bekalnya kelak.
  8. Gunakan media dan metode yang beragam agar anak tidak bosan. Misalnya dengan bercerita, membaca, menggambar, menonton DVD pendidikan anak, berdiskusi, bermain peran. Media bergambar sangat disarankan agar anak mudah mengerti dan memahami apa yang dijelaskan.
  9. Suasana dialog yang tenang sangat penting dalam membicarakan seksualitas dengan anak karena akan membantu anak mendapatkan pemahaman seks yang benar dari berbagai sudut pandang. (WPF Indonesia dan PKBI; Simanjuntak-Ndraha, 2010)
Bila anak bertanya mengenai kekerasan seksual itu apa, usahakan menjawab pertanyaan itu dengan tenang. Jawablah kekerasan seksual itu sangat luas, mulai dari laki-laki bersiul melecehkan kita, mengomentari tubuh kita hingga mulai menyentuh, meraba, memaksa mencium hingga akhirnya memperkosa atau memaksakan hubungan seksual 7. 8. 9.  Newsletter Pulih Vol. 14 Desember 2009 dengan kita. Kadang-kadang laki-laki itu memukul atau menyakiti kita supaya mau menuruti apa yang ia mau (Poerwandari, 2006). Usahakan untuk mengajarkan anak cara-cara yang dapat ia lakukan untuk menghindari diri dari kekerasan seksual, seperti :
  1. Sedini mungkin anak harus dikenalkan pada anggota tubuhnya sendiri sehingga dia dapat menjelaskan dengan tepat apa yang terjadi pada dirinya; jelaskan mana bagian tubuhnya yang boleh diperlihatkan atau dipegang oleh orang lain dan mana yang tidak.
  2. Anak harus dibiasakan untuk menolak perlakuan orang lain yang menyebabkan dia merasa tidak nyaman/terganggu/sakit. Kalau ada perlakuan yang tak wajar terhadap dirinya, anak dibiasakan untuk segera bercerita kepada orang tua, guru, atau keluarga yang lain. Anak juga harus dilatih agar tidak mudah percaya pada orang lain atau diajak main di tempat yang sepi.
  3. Hindari memakaikan aksesori yang terdapat nama anak saat ia berada di sekolah ataupun bermain di luar rumah. Bisa saja ada orang yang menghampiri dan menyebutkan namanya, kemudian berkata bahwa ia disuruh orangtua untuk menjemputnya. Anak pun bisa langsung menurutinya karena merasa orang asing itu mengenalinya.
Bila anak kita menjadi korban kekerasan seksual, baik itu pelecehan maupun perkosaan, hal yang perlu dilakukan adalah :
  • Pada umumnya anak tidak langsung bercerita kepada orangtua atas kejadian yang dialami. Namun hal tersebut dapat tampak dari perubahan perilaku pada anak seperti menjadi penakut, ingin terus ditemani, tidak mau makan, susah tidur, mudah marah, mengalami sakit pada alat kelamin, menghindari buang air kecil, menjadi pemalu, maupun menarik diri dari lingkungan. Amati dengan cermat perubahan perilaku pada anak dan tanyai anak dalam situasi yang tenang dan tidak menekan maupun memaksa. Percayailah apa yang dikatakan oleh anak. Berilah perasaan nyaman dan dukungan kepada anak atas apa yang telah dikatakannya. Bila anak belum mau bercerita, mungkin ia masih belum siap. Bersabarlah dan gunakan metode yang lain, tidak bertanya secara langsung, seperti gunakan media boneka atau gambar. Anak akan lebih mudah mengungkapkan hal yang dialami lewat media bermain karena ia tidak merasa terancam.
  • Bila sudah mengetahui apa yang dialami anak, Jangan menyalahkan ataupun memarahi anak atas 1. 2. 3. 1. 2. peristiwa yang terjadi. Melainkan segeralah lapor ke unit pengaduan perempuan dan anak (unit PPA) Polres atau POLDA dan lakukanlah visum.
  • Dampingi anak dan tekankan pada anak bahwa pelakulah yang salah bukan dirinya. Yakinkan anak bahwa mereka tidak berhak disakiti dan bukan mereka yang menyebabkan peristiwa itu terjadi.
  • Segeralah bawa anak ke lembaga konseling seperti Yayasan PULIH untuk mendapatkan dukungan psikologis atas kekerasan seksual yang dialami di nomor hotline 088-8181-6860 atau 021-982-86398.
  • Pahami anak bahwa ia membutuhkan waktu dan proses yang lama untuk pemulihan. Anak dapat menunjukkan berbagai macam reaksi meskipun peristiwanya sudah berlangsung lama. Bersabarlah karena dukungan orangtua sangat diperlukan dalam proses pemulihan anak.
Ingatlah bahwa kekerasan seksual pada anak dapat terjadi di mana saja dan kapan saja serta dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu anggota keluarga, pihak sekolah, maupun orang lain. Bekali anak dengan pengetahuan seksualitas yang benar agar anak dapat terhindar dari kekerasan seksual.
Sumber :
  • Leaflet Kekerasan Seksual yang diterbitkan Yayasan PULIH WPF Indonesia dan PKBI. 2007.
  • Buku Saku untuk Orangtua “Tips berbicara seputar seksualitas pada anak” Simanjuntak, J. & Ndraha, R. 2010.
  • “Semua Anak Harus Tahu : Mengenalkan Konsep Seks, Cinta, dan Pacaran”. Poerwandari, K. & Habsjah, A. 2006.
  • Ngobrol soal Tubuh dan Seksualitas. Program Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
  • http://megapolitan.infogue.com/lbh_apik_ kekerasan_seksual_anak_naik_2_kali_lipat
  • h t t p : / / w w w. t e m p o i n t e r a k t i f . c o m / h g / hukum/2009/01/12/brk,20090112-154915,id. html
  • h t t p : / / w w w . a n t a r a n e w s . c o m / berita/1274952700/arist-merdeka-sirait-terpilihsebagai-ketua-komnas-pa
  • http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter%2015.pdf

Sabtu, 03 Oktober 2015

Ikuti Lomba Cipta Puisi Hijau 2015

ari Kita Rawat dan Lestarikan Bumi
Rumah kita satu-satunya
Yayasan Bhakti Suratto menyelenggarakan:
Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau 2015
Tema: MERAWAT DAN MELESTARIKAN BUMI BESERTA ISINYA
Berhadiah Uang Tunai, 101 Karya Puisi Pilihan dibukukan
Puisi  Terbaik mendapat penghargaan
Suratto Green Literary Award
Puisi  Terpilih mendapat  penghargaan
Suratto Green Literary Appreciation 


Syarat-Syarat Lomba:
  • Lomba terbuka untuk 4 (empat) kategori:
(A) Tingkat Pelajar SD;
(B) Tingkat Pelajar SMP/SLTP;
(C) Tingkat SMA/SLTA;
(D) Tingkat Mahasiswa & Umum (Guru, Dosen, Penyair dan Masyarakat Umum).
  • Peserta adalah warga negara Indonesia yang tinggal di Tanah Air maupun yang tinggal di luar negeri/mancanegara dalam rangka studi atau sedang bertugas.
  • Lomba dibuka  1 Oktober  2015 dan ditutup  30 Oktober 2015 pukul 24.00 WIB.
  • Puisi yang dilombakan merupakan karya asli dan sedang tidak diikutsertakan dalam lomba, bertema Merawat dan Melestarikan Bumi beserta isinya
  • Panjang puisi maksimal 4 (empat) bait, ditulis dengan huruf Times New Roman, font 12, berjarak 1,5 spasi tiap baitnya dan 2 (dua) spasi untuk jarak bait berikutnya. Bagi puisi naratif, per bait boleh lebih dari 4 (empat) larik  maksimal  8 (delapan larik) dan terdiri atas hanya 3 (tiga) bait
  • Setiap peserta diperbolehkan mengirimkan maksimal 2 (dua) judul puisi, dilampiri scanning identitas KTP atau Kartu Pelajar/Kartu Mahasiswa, foto pose menarik/enak dipandang  dan Surat Pernyataan Karya Asli yang ditandatangani di atas Materai Rp 6.000,- kemudian di-scanning, dikirim melalui e-mail:  rayakultura@gmail.com dan cc ke:sekolahmenulis@gmail.com
  • Manuskrip puisi yang dilombakan menjadi milik Panitia Lomba  dan hak cipta milik penyair.
  • Penentuan Pemenang  – Total karya  puisi yang masuk ke Meja Panitia Lomba akan diseleksi sebanyak 101 judul dan dipilih pemenangnya sebagai berikut:
Puisi Terbaik Kategori A;
Puisi Terbaik Kategori B;
Puisi Terbaik Kategori C dan
Puisi Terbaik Kategori D.
Karya puisi 97 judul yang tidak menang  sebagai  Puisi Terpilih

  • Hadiah untuk Pemenang:
Puisi Terbaik Kategori A – Uang Tunai Rp 750.000,- (Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) +  Suratto Green Literary Award;
Puisi Terbaik Kategori B – Uang Tunai Rp 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) + Suratto Green Literary Award;
Puisi Terbaik Kategori C – Uang Tunai Rp 1.250.000,- (Satu Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) + Suratto Green Literary Award  dan
Puisi Kategori D – Uang Tunai Rp 1.500.000,- (Satu  Juta Lima Ratus Ribu Rupiah) + Suratto Green Literary Award.
Sebanyak 97 Judul Puisi Terpilih mendapat penghargaan Suratto Green Literary Appreciation dalam bentuk digital.
Pajak Hadiah ditanggung oleh masing-masing pemenang
Puisi 101 judul yang terseleksi akan dibukukan sebagai antologi,  diterbitkan oleh Yayasan Bhakti Suratto sebagai penyelenggara lomba.

  • Pengumuman Pemenang tanggal 19 November 2015, melalui Website Laskar Pena Hijau: www.laskarpenahijau.comWebsite Rayakultura:www.rayakultura.net dan Mediasosial: Fabebook, Twitter
  • Penyerahan hadiah bagi para pemenang diberikan pada Peringatan Hari Pohon Dunia – 21 November 2015 Pukul 09.00 – Selesai dalam Acara Anugerah Suratto Green Literary Award. Acara tersebut disertai  berbagai pentas sastrawi dan  Pembacaan serta Pentas Puisi Pemenang Lomba Cipta Puisi Genre Sastra Hijau (LCPGSH) 2015 – Suratto Green Literary Award,   bertempat di Amphi Theatre Sekolah Alam Cikeas Cibubur.
  • Panitia tidak menanggung transportasi dan akomodasi para pemenang juga para pembaca dan pementas puisi.

  • Dewan Juri terdiri dari:
Maman S. Mahayana – Ketua Dewan Juri
Naning Pranoto – Anggota
Kurniawan Junaedhie – Anggota
Adri Darmadji Woko – Anggota
Dodi Mawardi – Anggota
Ewith Bahar – Anggota
Shinta Miranda – Sekretaris



Cikeas, 30 September 2015

Naning Pranoto
Ketua Pelaksana  LCPGSH 2015

Kamis, 01 Oktober 2015

Menghadapi Diagnosis Anak Berkebutuhan Khusus

Irene

Menghadapi Diagnosis Anak  Berkebutuhan Khusus
ditulis oleh Irene Raflesia, M.Psi, Psikolog 
Psikolog dari Klinik Pelangi
Menerima diagnosis dari profesional terkait kondisi yang dialami oleh orang terdekat Anda bukanlah hal yang mudah bagi sebagian besar orang. Saat Anda mendengar diagnosis yang disampaikan oleh profesional, baik itu penyakit terminal, kronis, gangguan kompleks, ataupun gangguan serius lainnya, informasi ini  bisa saja menjadi hantaman besar bagi keluarga Anda. Hal ini juga dapat terjadi tatkala diagnosis berkebutuhan khusus ditujukan kepada buah hati Anda.
Diagnosis berkebutuhan khusus ini tidak hanya terbatas pada kondisi disabilitas fisik atau gangguan medis serius, seperti kanker atau penyakit kronis lainnya saja, tetapi juga gangguan perkembangan yang mungkin saja membatasi kemampuan anak untuk berfungsi sesuai dengan tahapan perkembangannya (Heller, 2013). Tak dapat dipungkiri, ketika anak Anda menerima diagnosis dari profesional, orangtua umumnya akan mengalami beragam keadaan emosi akibat duka yang diterima dalam mencerna kabar ini.
Moses (1987) menjabarkan bahwa orangtua umumnya akan mengalami proses berduka akibat kehilangan impian untuk menjalankan peran orangtua sebagaimana yang dialami oleh orangtua lainnya. Proses duka ini sebetulnya diperlukan guna memberikan kesempatan bagi orangtua untuk memisahkan diri dan merelakan impian dan harapan yang sebelumnya ia tanamkan. Orangtua yang baru menerima diagnosis anak berkebutuhan khusus akan segera dihadapkan pada beragam agenda tugas yang rumit, menuntut, menantang, menguras waktu, tenaga dan juga emosi. Merelakan impian yang ia tanamkan terhadap anak sekaligus melanjutkan perjalanan baru dalam merawat anak bukanlah proses yang mudah sehingga orangtua perlu mengalami proses berduka untuk dapat melanjutkan hidup.
Saat menerima diagnosis, tentu tak jarang, orangtua mengalami penyangkalan terhadap diagnosis, kecemasan, ketakutan, rasa bersalah, depresi dan bahkan merasakan amarah baik kepada dirinya, pasangannya, maupun anaknya. Orangtua perlu menyadari bahwa berbagai kondisi emosi ini adalah hal yang wajar mengingat proses berduka setiap orang pun unik. Tidak ada cara yang benar atau salah dalam membiarkan diri kita mengalami proses berduka.
Orangtua yang menolak untuk menghadapi proses berduka umumnya dapat terlihat melalui beberapa ciri ini, yaitu menyimpan perasaan, menyalahkan diri sendiri dan orang lain, dan bahkan mencari pelampiasan untuk mengalihkan perhatiannya dari dampak emosi saat menerima diagnosis ini. Bagaimana pun cara yang ditempuh, selama orangtua tidak membiarkan dirinya menghadapi proses berduka ini, mereka akan terus berada dalam siklus kesedihan yang tentu akan berpengaruh terhadap kesejahteraan anak dan keluarga (Reinsberg, 2015).
Menerima diagnosis ini tidaklah mudah sehingga orangtua perlu mempelajari berbagai strategi yang dapat digunakan untuk melalui tahapan berduka ini:
  • Berilah ruang dan waktu bagi diri Anda sendiri
Ambillah waktu untuk merawat kesehatan Anda sendiri. Walau terdengar sepele, Anda tetap perlu berada dalam kondisi prima untuk dapat merawat anak maupun keluarga Anda. Bekali diri Anda sendiri untuk dapat senantiasa kuat agar Anda dapat memberikan kekuatan pada anak dan keluarga. Tidur dan makan yang cukup, olah raga, serta mengambil sedikit waktu untuk melakukan aktivitas bagi diri Anda sendiri dapat membantu Anda menghadapi stres sehari-hari dan membuat Anda lebih menghargai waktu yang Anda habiskan untuk merawat anak dan keluarga Anda.

  • Ekspresikan perasaan Anda
Temukan cara yang nyaman bagi Anda untuk berbagi cerita ataupun mengekspresikan perasaan Anda kepada orang-orang yang Anda percayai. Menemukan orang yang dapat mendengarkan dan memahami situasi yang Anda hadapi sangatlah penting untuk membantu Anda melalui proses ini.

  • Temukan berbagai sumber informasi tentang diagnosis tersebut
Orangtua dengan anak berkebutuhan khusus tentu mengalami ketakutan mengenai apa yang akan terjadi di masa mendatang. Isilah kekosongan ini dengan memperkaya diri Anda dengan informasi serta meminta bantuan profesional untuk membuat Anda dan keluarga lebih memahami diagnosis tersebut.

  • Carilah informasi tentang komunitas dukungan kelompok bagi orangtua dan anak
Dengan mengetahui ada orang lain yang pernah mengalami hal yang sama, Anda dapat merasa lega dan lebih nyaman karena Anda tidak sendirian. Anda dapat bergabung dalam komunitas online seperti blog, forum internet, dan komunitas sosial untuk membuat diri Anda lebih mudah bertukar informasi sekaligus juga mengungkapkan masalah kepada orang lain yang lebih memahami perasaan yang Anda alami.

  • Mintalah bantuan profesional
Tidak ada orang lain yang lebih mengenal diri Anda selain Anda sendiri. Jika Anda merasa tidak berdaya atau putus asa, cemas, atau mengalami konflik yang membuat Anda tertekan, Anda dapat mencari bantuan dari psikolog maupun konselor.

Salah seorang tokoh favorit saya, Helen Keller, pernah berkata, “what is very difficult at first, if we keep on trying, gradually becomes easier.” Apa yang awalnya sangat sulit, jika kita tetap mencoba, lama kelamaan akan menjadi lebih mudah. Menjadi orangtua sejak awal bukanlah pekerjaan yang mudah, terlebih ketika buah hati yang didambakan memiliki kebutuhan khusus. Diagnosis diberikan bukan untuk dijadikan sebuah label baru bagi anak dan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan seluruh impian dan harapan orangtua. Diagnosis ini adalah sebuah awal perjalanan baru yang menunjukkan liku kehidupan yang belum pernah  terbayang sebelumnya. Hal yang terpenting adalah bagaimana orangtua melintasi perjalanan ini dengan mendefinisikan ulang kriteria kemampuan, kompetensi, potensi anak, menyusun ulang rencana dan prioritas, menegosiasikan tujuan sampai akhirnya menemukan makna dan impian baru dari perjalanan inilah yang akan menentukan sejauh mana anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang ia miliki.

Referensi:
Ahern, K. (2014). Your Child Had A Special Needs Diagnosis—Now What?. Diambil dari: www.nymetroparents.com/article/What-to-Do-After-Your-Child-is-Diagnosed-with-Special-Needs
Heller, K. (2013). The Challenge of Children with Special Needs. Diambil dari: psychcentral.com/lib/the-challenge-of-children-with-special-needs/?all=1
Moses, K. (1987). The Impact of Childhood Disability: The Parents Struggle. WAYS Magazine, Spring. Evanston, IL
Reinsberg, K. (2015). Stages of Grief for Parents of Children with Special Needs. Diambil dari: www.abilitypath.org/areas-of-development/delays--special-needs/states-of-grief.html

Selasa, 01 September 2015

Pengaruh Musik bagi Perkembangan Anak

Pengaruh Musik bagi Perkembangan Anak
Oleh Lita Patricia Lunanta, M.Psi, Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi

Pada tahun 1993, Rauscher dan kawan-kawan melakukan penelitian yang dikenal luas dengan sebutan “the Mozart Effect”. Penelitian ini dilakukan kepada tiga kelompok mahasiswa, yang mendapat perlakuan berbeda-beda sebelum mengikuti tes kemampuan spasial. Selama 10 menit sebelum tes berlangsung, kelompok pertama diperdengarkan Sonata Concerto in D Major K.448 karya Mozart, sedangkan kelompok kedua mendengarkan musik relaksasi, dan kelompok ketiga diberi suasana hening. Hasil tes menunjukkan skor yang lebih tinggi dalam spasial temporal reasoning pada mereka yang mendengarkan sonata karya Mozart sebelum test. Setelah penelitian ini dipublikasi muncullah pandangan bahwa musik klasik akan meningkatkan inteligensi sehingga ibu yang sedang mengandung dan bayi disarankan untuk banyak mendengarkan musik klasik terutama Mozart.  Perlu diluruskan bahwa “There is no magic in Mozart”. Mendengarkan musik klasik tidak akan secara otomatis meningkatkan inteligensi. Peningkatan hasil tes yang ditunjukkan pada penelitian Rauscher mengacu kepada penalaran spasial dan hanya bertahan 12 menit setelah mendengarkan lagu yang bersangkutan.

Lalu, apakah pengaruh musik kepada perkembangan anak? Apakah musik benar berpengaruh terhadap kecerdasan?
Beberapa penelitian menyangkut musik dan kecerdasan, antara lain:
  • Pada tahun 1997, penelitian di University of Wisconsin dan University of California, dilakukan kepada 789  anak usia 3-4 tahun, menemukan bahwa mereka yang mengikuti kursus piano memiliki hasil tes inteligensi lebih tinggi 34% daripada yang les komputer.
  • Pada tahun 1998, penelitian di McGill University menemukan bahwa terdapat peningkatan pola rekognisi dan representasi mental pada anak-anak yang les musik lebih dari 3 tahun. Peningkatan kemampuan ini juga membawa pengaruh terjadinya peningkatan harga diri.
  • Pada 1996, penelitian di Rhode Island Elementery School, menemukan bahwa terjadi peningkatan dalam kemampuan membaca dan matematika pada mereka yang mengikuti program apresiasi musik.  


 

















Benar bahwa musik memiliki pengaruh kepada perkembangan kognitif anak, bahkan lebih daripada itu, kepada perkembangan sosial dan emosional anak. Namun, pengaruh musik bukannya semata-mata dari mendengarkan musik tetapi dalam mempelajari musik serta belajar memainkan alat musik. Dalam memainkan alat musik, terdapat beberapa keterampilan yang terasah, antara lain:
       Bagaimana memainkan alat musik secara fisik
       Bagaimana membaca musik yang terdiri dari berbagai nada serta interval yang berbeda
       Bagaimana membuat musik yang menyenangkan, baik kepada diri sendiri, maupun kepada orang lain.
       Bagaimana memahami ritme dan struktur lagu, mencakup kecepatan lagu, kalimat lagu, serta ketukan



Selain yang diungkapkan pada bagan di atas, musik memiliki pengaruh kepada area lain, antara lain:
       Kreativitas
       Konsentrasi
       Koordinasi
       Relaksasi
       Kesabaran
       Kepercayaan Diri
       Keterlibatan pada musik juga menunjukkan adanya pengaruh kepada terlihatnya hasil yang baik dalam pemahaman bacaan, kemampuan mengeja, matematika, keterampilan mendengar, keterampilan motorik, kemampuan mendasar dalam belajar (verbal, persepsi, numerik, spasial)
Area yang dipengaruhi
Mekanisme
Ketrampilan kognitif
Pengaruh kepada stimulasi otak
Ketrampilan non kognitif
Disiplin, Persisten, Terlibat
Pengenalan diri
Keterbukaan
Motivasi berprestasi
Prestasi sekolah
Signal positif kepada guru
Keterampilan sosial dan budaya
Interaksi dengan guru
Interaksi dengan teman
Menjadi anggota kelp
Penggunaan waktu
Belajar terstruktur
Manajemen waktu
“tidak ada waktu” untuk perilaku negatif

Bagaimana dengan remaja? Apakah musik juga membawa pengaruh yang positif bagi remaja?
Kegiatan musik merupakan pemanfaatan waktu luang yang baik, dengan demikian dapat meminimalkan waktu untuk berperilaku menyimpang. Dengan musik, remaja mendapatkan lingkungan sosial yang dibutuhkan. Lebih jauh lagi, remaja yang sedang mengalami perubahan hormon dapat memanfaatkan musik untuk mengatur  emosi. Secara kognitif pun, pembelajaran musik jangka panjang dapat membawa pengaruh positif bagi remaja.

Mengingat pentingnya musik dalam perkembangan anak, orang tua dapat mengusahakan lingkungan yang bersifat musikal. Lingkungan yang melibatkan musik tidak sulit untuk diciptakan sehari-hari, antara lain:
       Pada Bayi : Musical Environment
menciptakan lingkungan yang musikal dengan lagu dan gerak
       Anak usia ± 3 tahun : Music Activities
musik dipadukan dengan permainan dan gerakan tubuh, misalnya menyanyi, bergerak (lompat, dansa, dll),mendengar, tepuk tangan & alat musik sederhana, serta sing-along games
       Anak usia ± 4-5 tahun Music Makers   
Kelompok usia ini sudah dapat menikmati pertunjukan musik singkat, mengikuti pelajaran musik berkelompok, belajar memainkan alat musik, belajar menulis nada atau lirik sederhana
       Anak usia 6-10 tahun : Structural Music
Usia sekolah adalah waktu untuk anak lebih terstruktur dalam memainkan alat musik.
                waktu yang tepat untuk belajar musik dengan serius, baik alat musik maupun vokal, dapat
mengenali pola dalam musik dan dapat bereksperimen. Kelompok usia ini juga terbantu dalam perkembangan bahasa dan bicara ketika terlibat dalam musik serta mendapatkan pengaruh positif pada prestasi akademik.
       Anak berkebutuhan khusus (Spesial Needs) : Music Therapy
Musik dapat menghibur, menenangkan, serta membantu mencapai tujuan. Kegiatan musik dapat meliputi gerak tubuh, belajar, dan mengajar melalui musik, mengembangkan keterampilan sosial dan bahasa melalui kegiatan musik kelompok, serta memanfaatkan musik untuk penyembuhan dan kendali emosi.





Minggu, 23 Agustus 2015

Bagaimana Memilih Sekolah Untuk Anak?


Ditulis oleh
Margaretha Wirjadi
Pendiri dan Kepala Sekolah Phoenix Kids Menteng
serta Instruktur Yoga Anak Klinik Pelangi Cibubur


Bagi pasangan yang memiliki anak usia balita, sering kali timbul pertanyaan :
“Sekolah dimana anak kita?”
“Apakah yang tempat bermainnya besar?”
“Apakah yang banyak peralatannya?”
“Sekolahnya keren nggak yah?”
“Sekolahnya mahal nggak yah?”
“Sekolah yang lagi trend yang mana nih?”
“Apakah diajarkan bahasa Mandarin dan Inggris?”
“Pokoknya anak kita harus bisa baca tulis dan matematika!”
“Anak kita harus rangking!”
dan masih banyak lagi pertanyaan serta tuntutan orang tua terhadap bakal sekolah anaknya. Bisakah anda bayangkan begitu banyaknya tuntutan dari orang tua pada saat anaknya baru mulai sekolah?

Dewasa ini anak-anak memulai bersekolah lebih awal dari jaman dahulu. Ada yang memulainya saat berumur 2 tahun, bahkan ada yang mulai dari usia 6 bulan. Beban berat sudah dipikul oleh anak sejak usia dini. Padahal sang anak akan belajar di bangku sekolah selama kurang lebih 20 tahun. Ya… 20 tahun, dimulai dari Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga bangku kuliah.

“Bagaimana memilih sekolah yang sesuai untuk anak saya?” menjadi pertanyaan yang ada di benak setiap orang tua. Pemilihan sekolah yang tepat akan membantu mengembangkan potensi anak, karena disanalah seorang anak pertama kali mengenal dunia luar dan keluar dari zona nyamannya.

Beberapa tips yang harus diperhatikan orang tua dalam memilih sekolah anak, diantaranya:

1.      Jarak dari rumah ke sekolah.
Pilihlah sekolah yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dari rumah. Bila anak terlalu lama menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah, mereka akan menjadi terlalu lelah di jalan dan cenderung moody.

2.      Kurikulum sekolah tersebut.
Jangan sungkan untuk menanyakan kepada pihak sekolah apa yang menjadi fokus pendidikannya. Apakah sekolah menitik beratkan pada akademik atau perkembangan anak? Apakah kurikulum sekolah tersebut disesuaikan untuk setiap tahapan perkembangan usia anak?

3.      Observasi ke sekolah.
Kunjungi dan lakukan observasi pada saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan. Beberapa sekolah usia dini (Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak) memberikan trial class bagi calon muridnya, dimana anak dan orang tua dapat mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir. Gunakan kesempatan ini untuk melihat bagaimana interaksi antara guru dan anak.

4.      Perbandingan guru dan murid.
Berapa jumlah anak dalam setiap kelas dan berapa guru untuk kelas tersebut? Kelas yang anaknya berumur lebih muda, seperti 2 – 4 tahun membutuhkan lebih banyak perhatian dibandingkan anak usia Taman Kanak-kanak. Namun perlu diingat, guru juga harus berbagi terhadap anak lain.  Oleh karena itu rasio guru dan murid sangatlah penting.

5.      Kegiatan sekolah tersebut.
Apakah sekolah membebani anak dengan akademik atau memang disesuaikan dengan perkembangan anak? Bagaimana perbandingan antara pelajaran di dalam kelas dan di luar kelas?

6.      Biaya dari sekolah tersebut.
Orang tua harus mempertimbangkan biaya pendidikan anaknya secara matang. Tanyakan pada sekolah apakah ada biaya-biaya lain di luar biaya uang pangkal dan uang sekolah yang dibayarkan setiap bulannya. Biaya-biaya seperti seragam, buku, bahan, kegiatan, field trip, graduation, dll, sebaiknya diketahui sejak awal.

Dibutuhkan peran dan kebijaksanaan orang tua dalam memilih sekolah. Jangan hanya sekedar mengikuti trend dalam menyekolahkan anak, tetapi pilihlah sekolah yang sesuai dengan karakter anak kita, karena kita ingin dia berkembang sesuai dengan kemampuannya.


Harus diingat, setiap anak adalah unik dan waktu dia di bangku sekolah masih akan cukup panjang. Memulai bersekolah dengan pengalaman yang menyenangkan akan membantu menyiapkan mereka untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Minggu, 16 Agustus 2015

KOMPETISI

psikologneta
ditulis oleh Reneta Kristiani, M.Psi
Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi

Di era globalisasi sekarang ini segala sesuatu dituntut untuk berkompetisi, bahkan anak-anak sekalipun. Lihatlah bagaimana anak-anak sudah harus mengikuti tes masuk untuk masuk SD, bahkan di TK pun sudah banyak yang menerapkan seleksi masuk. Jadi yang bisa diterima hanyalah anak-anak dengan tingkat inteligensi yang biasa ditandai dengan skor IQ rata-rata ke atas. Ketika sudah masuk sekolah pun, mereka tetap harus berkompetisi meraih nilai yang terbaik yang nantinya akan menentukan mereka masuk ke kelas unggulan atau tidak. Ada rasa bangga pada orang tua apabila anak mereka dapat berada di kelas unggulan sehingga orang tua pun mendorong anaknya untuk meraih nilai yang baik, apapun caranya. Bahkan ada beberapa sekolah yang menerapkan sistem akselarasi dimana anak bisa menempuh pendidikan hanya dalam waktu singkat. SD yang tadinya 6 tahun dapat menjadi 5 tahun, SMP & SMA yang 3 tahun menjadi 2 tahun. Apabila anaknya hanya mendapat nilai 70 / 80 (yang sebenarnya sudah melebihi nilai KKM yaitu 60/65), orangtua akan marah dan terus mendorong anak-anaknya untuk meraih nilai lebih tinggi lagi yaitu 90/100. Akhirnya orangtua akan menjejali anak-anaknya dengan banyak les pelajaran seperti Matematika, Science, Bahasa inggris, dll. Anak-anak kehilangan waktu bermain dan beristirahat mereka, pulang sekolah mereka harus tetap belajar dan belajar.
Namun di satu sisi lain, anak seperti kehilangan tujuan hidup. Hidup mereka semata-mata hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus untuk mata pelajaran tertentu. Ketika ditanya mereka mau jadi apa saat dewasa kelak, banyak dari mereka yang bingung mau jadi apa. Ketika ditanya apa minat dan hobi mereka, mereka pun bingung karena hidup mereka selama ini diisi dengan belajar, belajar dan belajar. Mereka juga sulit berhubungan sosial dengan orang lain, karena motivasi mereka selalu ingin berkompetisi menjadi yang terbaik dari orang lain.
Dapatkah kita bayangkan bagaimana mereka kelak hidup bermasyarakat ?
Akankah kita biarkan generasi penerus bangsa seperti itu?
Hanya hebat di Matematika atau Science tetapi tidak bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari?
Sulit untuk bisa menerima perbedaan dan kelemahan orang lain karena tidak semua orang pintar Matematika atau Science?
Marilah kita mengembangkan juga keterampilan sosial mereka!
Marilah kita memperhatikan juga perkembangan emosi mereka!
Karena di dalam hidup ini, anak-anak juga perlu belajar pemecahan masalah dan cara-cara mengendalikan emosi.
Marilah kita kembangkan juga kreativitas mereka !
Berilah mereka ruang untuk mengenali diri mereka sendiri. Apa kelebihan dan kekurangan mereka, apa minat dan hobi mereka, ijinkan mereka berkreativitas sebebas mungkin melalui kegiatan bermain. Bermain sebenarnya juga mengajarkan mereka cara pemecahan masalah. Melalui bermain, anak juga belajar menyalurkan emosinya dengan cara yang sehat. Masalah apa yang sedang anak pikirkan akan muncul melalui tema-tema dalam bermain. Anak akan merepresentasikan emosi yang ia rasakan melaui alat-alat permainan tersebut.
Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Semoga dengan lebih memahami anak-anak, kita  dapat lebih peka akan kebutuhan mereka. Biarkanlah anak-anak berkembang sesuai dengan usianya. Untuk kehidupan anak-anak yang lebih baik. Demi generasi penerus bangsa karena di tangan anak-anaklah, masa depan bangsa Indonesia.
Selamat menyambut hari kemerdekaan Indonesia!