Rabu, 22 Juli 2015

Hak Anak Indonesia (HAI)

Klinik Psikologi Pelangi Mengucapkan :
Klinik Pelangi
Selamat Hari Anak Nasional
23 Juli 2015
berikut kami sampaikan Klik :



Minggu, 19 Juli 2015

Disiplin Positif, Mungkinkah?

psikologneta
ditulis oleh Reneta Kristiani, M.Psi,
Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi

Banyak orangtua bingung bagaimana menerapkan disiplin pada anak. Ada yang menggunakan cara-cara kekerasan karena tidak tahu cara lain. Ada pula yang selalu menuruti keinginan anak karena tidak ingin anaknya tersakiti. Akibatnya anak justru menjadi “raja kecil” yang sulit diatur. Sebenarnya ada cara lain yang lebih efektif dalam menerapkan disiplin pada anak yang dikenal dengan nama disiplin positif.
Apakah disiplin positif itu?
Carl.E.Pickhardt,Ph.D seorang psikolog yang banyak menerbitkan buku mengenai parenting dalam salah satu bukunya “The Everything Parent’s Guide To Positive Discipline”  menjelaskan bahwa disiplin  bukan hanya meminta anak berperilaku sesuai dengan yang orangtua mau atau sebaliknya menyuruh anak berhenti berperilaku yang tidak sesuai dengan situasi tertentu. Disiplin lebih merupakan suatu proses dimana melalui arahan positif dan koreksi negatif, anak diajarkan untuk berperilaku sesuai dengan aturan dan nilai keluarga.
"Disiplin positif = 90% arahan + 10% koreksi"
Disiplin positif adalah ketika arahan positif lebih banyak daripada koreksi negatif. Mengapa demikian? Karena melalui disiplin dari orangtua, anak belajar memperlakukan diri mereka sendiri. Anak yang dipuji lebih banyak dan lebih sering akan bertumbuh menjadi individu dewasa yang percaya diri, menghargai diri sendiri. Namun anak yang selalu dikritik dari kecil akan bertumbuh menjadi individu dewasa yang kurang menghargai diri sendiri, kurang percaya diri dan menganggap dirinya banyak kekurangan.
Efektif atau tidaknya disiplin tergantung pada hubungan orangtua dengan anak. Jika ingin disiplin berjalan dengan lancar, maka pastikan ada hubungan yang dekat dengan anak. Fokuslah pada arahan, bukan pada koreksi. Fokus pada rewards daripada hukuman. Semakin menyenangkan hubungan anak dengan orangtua, maka anak akan semakin ingin bekerjasama dengan orangtua. “Aku suka melakukan apa yang diinginkan orangtuaku, karena taat itu rasanya menyenangkan”.  Ingatlah bahwa anak pleasure seeking sehingga anak cenderung mengulangi perilaku yang mendapat rewards. Rewards yang dimaksud di sini bukanlah hadiah berupa barang, melainkan mendapatkan perhatian, penerimaan, persetujuan, pujian, apresiasi / penghargaan, afeksi / kasih sayang dari orangtua.
Penggunaan arahan dan koreksi
Ketika anak kita melanggar aturan atau berperilaku buruk, kita perlu mencari tahu apakah anak kita memahami aturan yang diharapkan. Jika anak kita belum memahami aturan, maka kita perlu memberikan arahan lagi. Contohnya adalah “Ibu tidak mau kamu bermain-main dengan benda tajam itu, karena dapat melukaimu dan kamu akan sakit nantinya”.
Jika anak kita sudah memahami arahan namun memilih untuk tetap berperilaku negatif, maka kita perlu memberikan koreksi. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kita serius dalam menegakkan aturan. Ketika kita mengoreksi anak, harus tetap diikuti dengan arahan atau mengajarkan kembali anak kita agar perilakunya berubah di kemudian hari. Misalnya “Karena kamu tahu bahwa mengambil barang milik ayah tanpa permisi itu salah, maka kamu harus membantu ayah membersihkan rumah selama satu jam sebelum pergi bermain. Nanti lain kali bila kamu ingin meminjam sesuatu dari ayah, kamu harus tanya ayah terlebih dahulu”.
Memberikan koreksi sesuai usia anak
Anak di bawah usia 3 tahun
Untuk anak di bawah 3 tahun, anak belum terlalu memahami aturan karena perkembangan bahasanya masih terbatas. Diperlukan kesabaran, konsistensi, dan arahan positif untuk menunjukkan pada anak  bagaimana berperilaku yang baik, penekanannya justru lewat pengajaran nonverbal. Games of imitation merupakan cara yang efektif untuk mengajarkan anak di bawah usia 3 tahun yang secara alami ingin meniru segala perilaku orangtua. Oleh sebab itu, penting bagi orangtua untuk memberikan contoh konkret mengenai perilaku yang diharapkan pada anak. Bila anak sedang lelah atau menolak mengikuti apa yang diajarkan, alihkan perhatiannya ke hal lain.
Ketika kita perlu mengoreksi perilaku anak di bawah 3 tahun dari perilaku buruk seperti memukul, dan perilaku berbahaya seperti membuang-buang barang, pegang tangan anak kita dengan lembut, lihat matanya dengan wajah serius (tetapi bukan marah) gelengkan kepala 3 kali dan katakan “TIDAK!” dengan jelas dan tegas (bukan dengan berteriak). Tunggulah beberapa menit hingga anak memahami apa yang diinginkan dan normalkan hubungan dengan memberinya senyuman dan pelukan. Ketika anak di kemudian hari tidak lagi melakukan perilaku yang buruk dan mau melakukan perilaku sesuai aturan, jangan lupa memberikan rewards berupa pujian dan persetujuan, seperti “Ibu senang kamu sekarang mau tidur siang”.
Anak di atas usia 3 tahun
Untuk anak di atas usia 3 tahun yang sudah mempunyai kemampuan berbahasa yang baik, orangtua dapat menjelaskan kepada anak mengenai aturan dengan spesifik dan operasional, jangan umum dan terlalu abstrak. Contohnya bila menyuruh anak usia 5 tahun untuk membersihkan kamarnya, maka ia hanya akan menyembunyikan mainannya di bawah tempat tidur agar tidak terlihat. Hal itu karena ia tidak memahami apa arti kata “membersihkan kamar”, arahan itu terlalu umum dan abstrak baginya. Untuk itu kita perlu memberikan arahan yang lebih spesifik dan bertahap. Misalnya “Ayah mau kamu mengambil mainanmu di atas lantai dan menyimpannya ke tempat mainan”. Bila anak sudah melakukannya beri rewards dengan apresiasi kita, “Bagus”. Kemudian lanjutkan dengan arahan berikutnya “Nah sekarang ayah minta kamu ambil pakaian kotormu dari tempat tidur dan simpan di keranjang pakaian”.
 
 
Ingatlah anak akan senang belajar aturan bila usaha mereka dihargai.Sebaliknya anak akan menghindari aturan bila usaha mereka dikritikdan diberi hukuman.
Jika anak selalu menolak aturan. Orangtua dapat memberikan pilihan pada anak. Daripada mengatakan “Kamu tidak boleh menggunakan peralatan ayah!” lebih baik mengatakan “Ini adalah sejumlah peralatan yang kamu bisa gunakan untuk bermain, sedangkan untuk peralatan yang itu tidak boleh ya”.  Jadi, jangan hanya melarang anak tetapi juga beri mereka pilihan mana yang bisa mereka lakukan.
Prinsip-prinsip Koreksi
Koreksi perlu untuk mengubah perilaku yang salah. Namun koreksi perlu diberikan dengan cara yang tepat. Sebab bila koreksi diberikan dengan kasar justru dapat membuat anak merasa tidak nyaman dan berdampak pada menurunnya kepercayaan diri anak. Koreksi yang diberikan disertai dengan kemarahan orangtua akan membuat anak merasa kehilangan kasih sayang orangtua. Anak menjadi ragu apakah orangtua masih mengasihinya. Oleh sebab itu, tujuan dari koreksi seharusnya adalah mendapatkan perubahan perilaku menjadi lebih positif dengan dampak negatif seminimal mungkin.
Berikut adalah 7 prinsip dalam menerapkan koreksi :
  • Tolak perilaku negatif anak, tetapi jangan tolak anak secara pribadi.
Jangan katakan “Kamu lakukan hal buruk karena kamu anak nakal!” Saat kita mengatakan perilakunya tidak dapat diterima, anak perlu memahami bahwa ia sebagai pribadi tetap kita terima dan kasihi. Perilaku buruk tidak berarti anak menjadi buruk. Anak lebih dapat menerima koreksi ketika mereka tahu bahwa perilaku yang buruk tidak membuat mereka kehilangan kasih sayang orangtua. “Orangtuaku tidak suka apa yang kulakukan, tetapi aku tahu orangtuaku tetap mengasihiku.”
  • Jangan memberikan koreksi tanpa arahan.
Koreksi dapat membingungkan anak bila orangtua hanya melarang apa yang tidak boleh dilakukan anak. “Jangan lakukan itu!” “Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Lalu aku harus lakukan apa”, kata anak kebingungan. Anak perlu diberitahu apa yang boleh ia lakukan. Oleh sebab itu saat memberikan koreksi, usahakan untuk memberikan pula alternatif pilihan yang dapat dilakukan anak.
  • Berikan koreksi yang non-evaluatif
Koreksi itu sudah bersifat kritik sehingga kita tidak perlu menambahkan lagi hal negatif yang dapat menyakiti hati anak. Misalnya “Kamu seharusnya tahu itu. Ayah kan sudah memberitahumu berulangkali. Kamu benar-benar anak yang tidak bisa diatur.” Daripada mengatakan hal seperti ini, lebih baik katakan dengan singkat “Ayah tidak setuju dengan pilihan yang kamu buat. Ini alasannya dan ini akibatnya. Kamu perlu melakukan konsekuensi ini untuk memperbaiki perilakumu.”
  • Fokus pada perilaku yang spesifik
Jangan gunakan bahasa yang abstrak untuk menjelaskan perilaku, misalnya “Kamu tidak bertanggung jawab”. Hal ini tidak menjelaskan apa yang ingin diubah dari perilaku yang salah tersebut. Lebih baik katakan perilakunya secara spesifik, seperti “Kamu sudah setuju untuk langsung pulang ke rumah setelah dari sekolah. Namun kini kamu main dulu di lapangan hingga sore dan membuat ayah serta ibumu cemas karena kamu tidak memberitahu. Kamu melanggar aturan dan kesepakatan kita bersama.”
  • Berikan koreksi yang bersifat mendidik
Apakah koreksi yang kita berikan dapat membuat perilaku anak berubah di masa mendatang? Semua itu tergantung pada bagaimana orangtua menggunakan perilaku yang salah itu sebagai sarana untuk mengajarkan anak mengenai perilaku yang baik. Oleh sebab itu, penting bagi orangtua untuk berdiskusi dengan anak mengenai apa yang salah dari perilakunya, mengapa anak berperilaku seperti itu, apa akibatnya, apa yang dapat dilakukan anak di lain waktu agar tidak terjadi lagi di kemudian hari. Koreksi dapat memberikan efek jangka panjang bila kita dapat menanamkan nilai-nilai pada anak sehingga ia mengerti bagaimana harus berperilaku.
  • Berikan apresiasi karena sudah mendengarkan
Tidak ada anak yang senang diberitahu mengenai perilakunya yang salah dan mendapat konsekuensi dari perilaku tersebut. Oleh sebab itu, kita perlu memberikan respon positif bila anak sudah mau mendengarkan apa yang kita mau.
  • Setelah berikan koreksi, berikan harapan akan kerjasama yang lebih baik di lain waktu
Selalu akhiri koreksi dengan mengatakan “Ayah tahu perilakumu akan lebih baik di lain waktu”.
 
 
Saat melakukan koreksi usahakan tetap memberikan respon yang rasional, daripada emosional. Jika mengoreksi anak dengan kemarahan, anak hanya akan mengingat kemarahan orangtua dan tidak menyadari kesalahannya sehingga anak tidak belajar dari kesalahan.
Sumber:
Pickhardt, C.E, Ph.D (2004) The Everything Parent’s Guide To Positive Disciplin. U.S.A : F+W Publication, Inc.

Rabu, 15 Juli 2015

Selamat Hari Raya Idul Fitri 2015

Selamat Hari Raya Idul Fitri 2015



Sudahkah Kita Memaafkan Diri Sendiri?



ditulis oleh Reneta Kristiani, M.Psi
Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi
Editor : Bagia Arif Saputra


Momen Hari Raya Idul Fitri merupakan saat yang tepat untuk saling bermaaf-maafan. Namun sebelum memaafkan orang lain, sudahkah kita memaafkan diri sendiri?

Mengapa Kita Perlu Memaafkan Diri  Sendiri?
Kita seringkali menyalahkan diri sendiri tanpa kita sadari. Misalnya kita menyalahkan kekurangan kita, seperti: tubuh yang gemuk, sifat yang pemalas, merasa kurang kompeten, dsb. Kita juga sering menyalahkan kondisi, seperti kesehatan yang menurun dan bagaimana respon orang lain terhadap kita. Bahkan bila ini menjadi kebiasaan, kita juga akan menyalahkan sesuatu yang sebenarnya terjadi di luar kendali kita, seperti cuaca yang buruk, jadwal pesawat yang tertunda, dan perasaan orang lain. Gejala umum yang sering terlihat bila kita sering menyalahkan diri sendiri adalah kita terus-menerus meminta maaf di setiap kondisi. Misalnya bila pasangan tidak menyukai film yang kita pilih, kita akan meminta maaf. Jika hasil masakan gosong, kita meminta maaf. Apalagi bila ditambah kata-kata “Bodohnya aku, maaf ya”. Sikap menyalahkan diri sendiri itu membuat kita sulit melihat hal-hal baik dari diri dan keberhasilan yang sudah kita capai. Akibatnya kita menjadi kurang percaya diri. Seperti seorang bapak yang memiliki 3 anak yang sudah dewasa. Satu anaknya sudah menjadi pengusaha sukses. Anak yang lain menjadi peneliti yang sering ikut konferensi ke luar negeri. Anak lainnya adalah seorang pecandu narkoba. Bapak ini menyalahkan dirinya dan menganggap tidak bisa mendidik anak karena salah satu anaknya menjadi seorang pecandu. Ia lupa melihat keberhasilan dua anaknya yang lain.

Pentingnya Memaafkan dan Menerima Diri Sendiri
Menyalahkan dan menolak diri sendiri justru membuat batin kita semakin merasa sakit. McKay dan Fanning (2000) dalam bukunya mengenai Self-Esteem mengatakan bahwa menyalahkan dan menolak diri sendiri akan merusak struktur psikologis diri kita yang sebenarnya membuat kita tetap bersemangat hidup. Mengapa demikian? Karena salah satu kelebihan manusia dibandingkan hewan adalah kesadaran akan dirinya (awareness of self) dimana manusia memiliki kemampuan untuk membentuk identitas diri, untuk mendefinisikan siapa dirinya, dan memberi nilai apakah ia menyukai identitas tersebut atau tidak. Bila kita menyalahkan diri sendiri, akibatnya kita akan membatasi kemampuan kita untuk mengeksplorasi diri kita yang sebenarnya. Misalnya, kita menjadi tidak berani mengambil resiko dalam kehidupan sosial, akademik, karir dan pekerjaan. Kita juga menjadi sulit membuka diri terhadap orang lain. Kita akan terlalu memaksakan diri untuk memenuhi standar yang tinggi (perfeksionis) atau sebaliknya, kita akan cenderung mudah menyerah dan menghindari tugas. Adapula yang akhirnya mengalami kecanduan belanja, makanan, alkohol, narkoba, games dll.      

Understanding, Accepting, and Forgiving
Untuk dapat memaafkan diri sendiri, kita perlu memahami dan menerima diri kita. Hal ini berarti melepaskan yang sudah berlalu (letting go of the past), menghargai diri sendiri saat ini (reaffirming self-respect in the present) dan melihat pada masa depan yang lebih cerah (looking forward a better future). Biasanya saat melakukan kesalahan, pikiran negatif kita otomatis akan menyalahkan diri sendiri. Akibatnya kita terjebak pada masa lalu dan sulit melangkah ke masa depan. Untuk itu, pola pikir seperti ini perlu kita ubah. Misalnya, kita menyesal telah marah-marah dan berteriak pada anak kita. Pikiran negatif yang muncul secara otomatis akan mengatakan “kita ini bukan orangtua yang baik”, “kita tidak layak menjadi orangtua, dll”. Bila pikiran negatif ini muncul, cobalah dilawan dengan mengatakan “Oke, saya memang sudah membuat kesalahan. Tadi saya marah-marah dan berteriak kepada anak karena saya tidak bisa mengendalikan diri. Namun itu telah berlalu. Saat ini saya sedang mencoba memaafkan diri saya. Saya akan berusaha lebih tenang bila menghadapi situasi serupa. Saya akan mengingatkan anak saya dengan cara yang lebih baik.” Ingatlah tiga prinsip dasar memahami (understanding), menerima (accepting) dan memaafkan (forgiving) diri sendiri sebelum kita memaafkan orang lain.

Selamat bermaaf-maafan !

Sumber referensi :
McKay,M,Ph.D & Fanning,P.(2000). Self Esteem (3rd edition). USA : New Harbinger Publication, Inc.



Kamis, 09 Juli 2015

Kekerasan Pada Anak

gisel
ditulis oleh Gisella Tani Pratiwi, M.Psi, 
Psikolog Anak Klinik Psikologi Pelangi


Fenomena Kekerasan pada Anak
Menurut pernyataan Komnas PA, pada tahun 2010 di kawasan Jabodetabek, terdapat 2.046 kasus kekerasan terhadap anak. Lalu pada tahun 2011, terdapat kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap anak menjadi 2.462 kasus. Selanjutnya pada tahun 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus dan tahun 2013 melonjak menjadi 3.339 kasus. Sedangkan KPAI mencatat bahwa setidaknya terdapat rata-rata 3.700an kasus per tahunnya.
Namun harus diingat bahwa jumlah kasus kekerasan merupakan fenomena gunung es, dimana jumlah tersebut adalah kasus-kasus yang tampak di permukaan atau dalam kata lain dilaporkan, namun jumlah kasus sesungguhnya tidak diketahui karena masih banyak kasus-kasus kekerasan yang tidak atau belum terungkap. Kasus-kasus yang tercatat di atas pun baru merupakan gambaran sebagian kecil daerah di Indonesia. Jadi bisa dibayangkan betapa banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang masih terjadi pada anak-anak Indonesia.
Bentuk Kekerasan pada Anak
Sebelum membicarakan mengenai dampak dari kekerasan, mari kita pahami mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak.
  1. Kekerasan Fisik
  2. Kekerasan fisik adalah kekerasan yang menimbulkan luka atau dampak yang nyata secara fisik. Bentuk kekerasan yang dapat terjadi misalnya, dipukul, ditampar, didorong dengan keras, kepala dibenturkan ke dinding/benda keras, ditonjok, dsb.
  3. Kekerasan Psikis/Emosional
  4. Kekerasan psikis atau emosional adalah tindak kekerasan yang menimbulkan luka batin yang sulit terlihat secara kasat mata. Contoh bentuk kekerasan ini adalah, memberikan cap negatif kepada anak seperti mengatakan bahwa anak itu bodoh, anak tidak bermasa depan, lalu bisa juga dalam bentuk pembandingan dengan saudara lain sehingga meremehkan anak, mengabaikan pendapat anak, selalu memarahi anak dengan kata-kata kasar, selalu mengatakan dan bersikap yang membawa kebencian kepada anak, dsb.
  5. Kekerasan Seksual
  6. Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang meliputi segala perilaku dan sikap seksual kepada anak, baik yang dilakukan orang dewasa kepada anak atau pelaku anak kepada korban anak. Contohnya adalah pemerkosaan, pelecehan seksual, menjadikan anak pekerja seksual komersil, mempertontonkan adegan seksual kepada anak (baik secara langsung maupun melalui media seperti film dll), dsb.
  7. Kekerasan / Eksploitasi Ekonomi
  8. Kekerasan/Eksploitasi Ekonomi adalah bentuk kekerasan yang memanfaatkan keberadaan anak sebagai sumber pencaharian nafkah atau keuntungan ekonomi. Contohnya, menyuruh anak bekerja sebagai sumber nafkah keluarga, memaksa anak bekerja sehingga tidak memiliki waktu bermain/belajar, membawa anak untuk mengemis, dsb.
  9. Penelantaran
  10. Penelantaran dianggap terjadi jika pengasuh utama anak/pengasuh sah anak (orang tua atau kerabat atau pengasuh lainnya) tidak memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak, yaitu kebutuhan sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan serta pertumbuhan psikologis lainnya. Contohnya, kondisi rumah tinggal yang kotor, anak tidak diberikan makanan bergizi yang cukup, anak tidak diberikan akses pendidikan, anak tidak distimulasi secara psikologis, dsb.
Dampak Kekerasan terhadap Anak
Jelaslah bahwa kekerasan terhadap anak akan membawa dampak kepada perkembangan diri anak. Berikut adalah dampak-dampak kekerasan terhadap perkembangan anak dari aspek fisik, pola pikir serta sosial-emosional anak. Namun, harus diingat bahwa dampak-dampak ini bersifat subjektif dan khas sehingga tidak semua anak mengalami dampak yang sama. Dampak-dampak ini berpengaruh pada seluruh aspek perkembangan anak, dan dampak satu aspek saling mempengaruhi satu sama lain. Jika anda menemukan dampak-dampak ini pada anak anda atau anak-anak di sekitar anda, silahkan menghubungi ahli untuk mendapatkan bantuan lanjutan.
Berikut adalah dampak-dampak dari aspek fisik :
  • Luka fisik yang ringan seperti lebam, luka gores, benjol, dsb
  • Luka fisik yang berat (gegar otak, patah tulang, dsb)
  • Kematian
  • Pertumbuhan tubuh yg mungkin di bawah rata-rata anak seusianya
  • Sering/Mudah sakit
  • Psikosomatis : penyakit fisik tanpa alasan medis/kesehatan yang jelas, misalnya demam tiba-tiba, sakit perut, sakit kepala, dll.
  • Tampak lesu, tdk bersemangat/ceria
  • Gizi buruk -- Penelantaran
  • Perkembangan fisik kurang terstimulasi (tugas perkembangan terhambat)
  • Masalah tidur (mimpi buruk, sulit tidur, dll), sulit makan,
  • Penampilan fisik yang tampak lusuh/dekil, baju kotor, rambut kusut, kulit kotor, dst
  • Berikut adalah dampak-dampak dalam aspek pola pikir anak :
  • Mengganggap dunia tidak aman
  • Mudah berprasangka buruk
  • Menyelesaikan masalah dengan kekerasan, sering bertengkar dengan teman atau saudara
  • Merasa diri tidak berharga, kurang percaya diri
  • Merasa sebagai sumber masalah, menyalahkan diri sendiri
  • Merasa tidak memiliki solusi, merasa putus asa dan mudah menyerah
  • Merasa tidak memiliki harapan, merasa tidak berguna
  • Sulit berkonsentrasi, sehingga mungkin bermasalah dalam prestasi sekolah, mudah terganggu ketika mengerjakan tugas
  • Kemungkinan adanya perkembangan intelegensi yang kurang optimal
  • Berikut adalah dampak-dampak dalam aspek sosial-emosi anak :
  • Sulit bergaul, merasa minder
  • Menghindari bertemu orang lain, terisolasi
  • Merasa kesedihan mendalam, yang mungkin mengalami depresi
  • Merasa dendam, sangat agresif
  • Kesulitan mengelola emosinya : sering marah, marah dengan meledak-ledak, menangis terus, tiba-tiba merasa sedih, dsb.
  • Merasa putus asa
  • Memberontak pada peraturan atau pihak otoritas (orang tua, guru, dll)
  • Semua masalah emosi ini membuat anak sulit bersosialisasi
  • Mundur ke tahap perkembangan sebelumnya, misalnya mengompol kembali padahal sebelumnya tidak mengompol, kembali mengisap jempol, selalu ingin ‘menempel’ pada pengasuh utama padahal tadinya sudah mandiri, dsb.
  • Tidak maju pada tahap perkembangan selanjutnya, misalnya terus mengompol meski sudah berusia 6 tahun ke atas, terus membutuhkan kehadiran sosok pengasuh utama sebagai sumber rasa aman, dsb.Kekerasan seksual merupakan isu yang sensitif dan perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal ini terjadi karena, pertama, isu seksual merupakan isu yang masih dianggap tabu oleh sebagian besar masyarakat. Sehingga ketika hal ini terjadi maka menjadi hal yang tidak mudah dipercaya dan menjadi pukulan besar, baik bagi anak maupun bagi keluarga serta masyarakat sekitarnya. Kedua, isu seksualitas merupakan isu yang masih belum dipahami sepenuhnya oleh anak sehingga anak pun sering kali tidak memahami benar akan kekerasan seksual yang ia alami. Ketiga, anak sering kali merasa bahwa dirinyalah yang menyebabkan tindakan kekerasan seksual ini sehingga untuk menceritakannya, anak merasa takut orang tuanya akan marah atau sedih. Keempat, pelaku sangat mungkin mengancam baik dengan cara halus maupun kasar sehingga anak terpaksa tidak menceritakan kejadian yang ia alami atau bahkan memanipulasi anak, misalnya dengan mengatakan bahwa tindakan kekerasan tersebut adalah bentuk rasa sayang pelaku kepada anak. Kelima, anak sulit menolak pelaku, karena sering kali pelaku adalah orang yang dikasihi atau dikenal.
  • Maka selain dampak-dampak umum yang dialami anak seperti yang diungkapkan di atas, ada beberapa dampak khusus yang mungkin dialami anak yang mengalami kekerasan seksual :
  • Kondisi Khusus : Bentuk Kekerasan Seksual
  • Gangguan-gangguan perilaku : menyakiti diri, agresivitas, relasi buruk di sekolah, drop-out/putus sekolah dll.
  • Luka pada kemaluan atau dubur, mengeluh sakit jika buang air
  • Mencari stimulasi seksual yang tidak sesuai dengan perkembangannya akibat terpapar pada seks terlalu dini dengan cara salah, mungkin memiliki rasa tertarik berlebihan & tidak dapat dikendalikan, pada hal-hal terkait pada seks, Contoh : bermain dengan tema-tema tentang hubungan seksual, bertanya hal-hal berkaitan dengan seksual yang tidak wajar, (untuk memahami wajar atau tidak, lebih baik memahami perkembangan anak dimana usia 3-5 tahun misalnya adalah masa anak mengeksplorasi diri terutama mengenali alat kelaminnya).
  • Penolakan, rasa jijik, muak, benci, takut pada lawan jenis / seks; di masa mendatang mungkin mengalami disfungsi seksual, membentuk persepsi salah mengenai relasi intim (sakit, tidak menyenangkan, penuh tekanan, dsb)
  • Merasa diri sudah ‘kotor’, mendapat stigma dari masyarakat
  • Menghindari tempat kejadian, tidak mau bertemu pelaku—trauma
  • Merasa dikhianati (terutama jika adalah pelaku orang yang dekat/dipercaya)
  • Tidak paham akan situasi yang terjadi
  • Sulit bersosialisasi secara normal karena rasa malu, minder, ingin menghindari cap negatif dari lingkungan
  • Jika menemukan bahwa anak anda atau anak-anak di sekitar anda mengalami kekerasan, berikut adalah hal-hal yang dapat anda lakukan :
    • Dengarkan cerita anak, terimalah emosi apapun yang timbul.
    • Tenangkan anak. Lakukan hal-hal sederhana yang membuatnya nyaman seperti memintanya untuk duduk, menarik napas perlahan, minum, dll.
    • Jangan menanyai anak mengenai alasannya karena cenderung akan menimbulkan rasa dipersalahkan.
    • Hindari komentar yang menyudutkan anak, seperti mempersalahkan anak, menanyakan mengapa anak mau, menanyakan mengapa anak tidak lari/mencari bantuan, dsb.
    • Hubungi ahli yang dibutuhkan sesuai dengan kondisi anak, seperti pertolongan medis dan visum jika dimungkinkan, psikolog anak, petugas kepolisian, dan bantuan hukum. Usahakan meminta bantuan hukum kepada LBH atau pengacara atau tenaga medis atau psikolog yang sensitif gender.
    • Jika anak mengalami kekerasan seksual, simpanlah jika ada bukti fisik seperti pakaian dalam, dan ambillah foto jika ada luka, dan kondisi anak secara fisik.
    • Bagi orang tua khususnya :
  • Tenangkan diri anda, agar anda dapat membantu anak anda secara optimal
  • Carilah pihak yang bisa dipercaya untuk bercerita dan berdiskusi mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan
  • Utamakan kesejahteraan anak
  • Pastikan anda mendapatkan informasi lengkap dari ahli (hukum, medis, psikologis) yang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak
  • Informasi ini bisa digunakan untuk menjadi pertimbangan anda mengambil langkah-langkah lanjutan
  • Selamat menyambut Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli nanti! Semoga anak-anak Indonesia terbebas dari kekerasan apapun bentuknya! Biarlah ini menjadi doa dan harapan kita bersama, karena di tangan anak-anaklah masa depan bangsa Indonesia.