ditulis oleh
Widad Zahra Adiba
Mahasiswa Psikologi Universitas Johannes-Gutenberg Mainz, Jerman
yang saat ini sedang internship di Klinik Pelangi
Kabar
terbaru belakangan ini yang cukup memprihatinkan, terutama bagi para
orang tua adalah ditemukan akun grup Facebook bernama Loly Candy
Official yang memuat kurang lebih 600 foto dan video ponografi anak
usia di bawah umur. Karena korbannya adalah anak anak, banyak orang yang
salah kaprah mengatakan bahwa pemilik dan anggota Akun FB tersebut
adalah ‘Pedofil’. Nyatanya, tidak semua pelaku kekerasan terhadap anak
adalah penderita Pedofilia.
Untuk
mengetahui apakah sesorang penderita Pedofilia atau tidak, membutuhkan
waktu yang tidak singkat dan hanya dapat dilakukan oleh psikiater
forensik. Dikutip dari siaran pers PAI (Proklamasi Anak Indonesia) oleh
Mamik Sri Supatmi, Dosen Kriminologi UI, “Mendefinisikan pelaku
kejahatan seksual pada anak sebagai Pedofil dan pendefinisian Pedofil
terhadap tersangka akun Grup FB Loly Candy tanpa pemeriksaan medis tidak
dibenarkan dan dikhawatirkan menimbulkan masalah baru”. Potensi
meringankan atau menghapus kesalahan orang dengan penyakit jiwa dapat
ditemukan pada peraturan Undang-Undang Hukum, pasal 44 KUHP sehingga
menyebut pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai Pedofilia
berpotensi untuk digunakan sebagai alasan pemaaf bagi para pelaku. Oleh
karena itu, sebaiknya penyebutan Pedofilia dalam pemberitaan kasus
kekerasan seksual diganti dengan sebutan pelaku kekerasan seksual anak.
Apa itu sebenarnya Pedofilia? Menurut Diagnostic and Statistic Manual
edisi kelima (DSM-5), Pedofilia merupakan salah satu bentuk gangguan
Parafilia atau preferensi seksual yang tidak lazim, seperti ketertarikan
seksual berupa fantasi seksual, dorongan seksual, dan perilaku seksual
yang melibatkan aktivitas seksual pada anak-anak pra-puber. “Secara
fisik memang penderita Pedofilia tidak terlihat berbeda. Namun secara
psikologis, Pedofil mengalami arouse atau rangsangan terhadap
anak-anak. Jadi biasanya mereka senang mengamati anak-anak, senang
melihat gambar atau foto anak-anak, terlihat senang berinteraksi atau
berada di sekitar anak-anak, dsb. Namun itu semua bertujuan untuk
kepuasan seksual penderita Pedofilia. Karena adanya masalah orientasi
seksual, Pedofil juga biasanya mengalami masalah dalam sosialisasi
dengan orang yang sebaya atau dengan lingkungan secara umum. Ia bisa
menjadi seorang yang penyendiri, terlihat tertutup, dan biasanya tidak
aktif secara sosial. Membantu seorang pelaku Pedofilia untuk memiliki
kemampuan sosial yang memadai adalah salah satu bentuk terapi untuk
memulihkan gangguan Parafilia ini”, jelas Sinta Mira M.Psi, selaku
Psikolog Klinis Dewasa dari Klinik Pelangi. Jika ditemukannya kesamaan
pada ciri-ciri Pedofilia di atas, disarankan untuk melakukan pemeriksaan
lebih lanjut ke Psikiatri, Psikolog, atau bisa konsultasi lebih lanjut di Klinik Pelangi di Kota Wisata Cibubur.
Lalu
bagaimana cara penanganan penderita Pedofilia? “Penanganannya cukup
kompleks karena biasanya para penderita Parafilia tidak mencari bantuan
untuk gangguannya. Penanganan pada akhirnya ‘dipaksakan’ karena ia
tertangkap dalam kasus kekerasan seksualnya. Treatment atau intervensi penanganan Pedofilia bisa secara biologis maupun psikologis“, tambah Psikolog Sinta.
“Secara psikologis bisa dilakukan dengan terapi modifikasi perilaku. Contohnya dengan aversion therapy
yang bertujuan menghilangkan respon seksual terhadap objek atau situasi
yang membuat penderita terangsang secara seksual. Tekniknya adalah
dengan memberikan exposure yang tidak mengenakkan, bisa dengan
suara keras atau setrum listrik dalam kadar aman saat penderita melihat
gambar atau subjek yang merangsang baginya”.
“Prosedur desensitization
untuk mengurangi rasa cemas juga bisa dilakukan pada penderita.
Misalnya penderita diajarkan teknik relaksasi sambil perlahan membangun
visualisasi relasi seksual yang normal dengan sesama orang
dewasa. Terapi kognitif juga bisa dilakukan bersamaan dengan terapi
perilaku, untuk membantu penderita belajar teknik sosialisasi yang bisa
diterima lingkungan, tanpa melakukan hal-hal yang menyimpang secara
seksual “.
Salah
satu Psikolog Klinis Anak dari Klinik Pelangi, Gisella Tani Pratiwi,
M.Psi menjelaskan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual anak (KSA)
menyebabkan masyarakat sekarang semakin sadar bahwa kekerasan seksual
adalah bentuk kriminalitas yang melanggar hukum. Kesadaran tersebut baik
karena diharapkan dapat meminimalisir kasus KSA. Psikolog yang biasa
disapa Ella ini yakin bahwa masih banyak kasus kekerasan seksual anak
yang belum terungkap karena masih dianggap tabu dan memalukan.
Menurutnya, kemampuan negara untuk mencegah dan menangani kasus KSA
masih sangat minim dan kurang baik. Oleh sebab itu, banyak pekerjaan
yang perlu dilakukan bersama-sama untuk menangani KSA secara menyeluruh.
Hal ini juga diakui oleh psikolog
Sinta bahwa jumlah anak-anak korban kekerasan seksual pada kasus waktu
lalu tersebut sangat banyak dan juga sangat memprihatinkan. “Fenomena
ini seperti gunung es, dimana pastinya banyak sekali hal yang harus
dibereskan dari dasarnya, terutama dalam penanganan para korban,
penanganan para pelaku, penanganan para ‘penikmat’ video di grup FB
tersebut, dan juga memberikan edukasi bagi para orang tua korban. Banyak
sekali masalah yang harus dibereskan dari kasus ini”, tegas psikolog Sinta.
Tentu
kasus ini juga membuat orang tua was-was akan sang buah hati. Lalu apa
saja hal yang bisa dilakukan orang tua untuk melindungi buah hatinya
dari kekerasan seksual? Berikut ini adalah tips dari psikolog Sinta dan psikolog Ella :
- Pengawasan yang cukup pada anak
Disarankan
orang tua perlu memiliki pengawasan yang cukup ketat pada anaknya.
Ketat dalam artian orang tua harus mengetahui dengan siapa saja anak
berinteraksi setiap harinya. Pelaku kekerasan seksual bisa mendekati
anak dengan cara-cara yang tersamar sehingga seringkali orang tua kurang
waspada. Kerjasama dengan pihak sekolah, pengasuh, dan mereka yang
berinteraksi dengan anak sehari-hari, harus terjalin dengan baik
sehingga meskipun orang tua bekerja, orang tua masih bisa mengawasi
anak terus-menerus lewat bantuan pengawasan orang-orang terdekat.
- Berikan pengetahuan sex education pada anak sejak dini
Orang tua harus membekali anak dengan pengetahuan tentang sex education
sejak dini, tetapi tentunya pilih yang sesuai dengan taraf kematangan
anak. Saat ini banyak buku dan media ajar bagi anak untuk memberikan
pemahaman mengenai sex education yang sesuai untuk tahapan usia
anak. Misalnya mengajarkan anak untuk bisa menolak dengan tegas kalau
ada orang lain yang ingin menyentuhnya di bagian tubuh yang tertutup
pakaian dalam, dan lainnya. Berikut adalah panduan mengenai hal ini :
- Pada anak usia TK sampai SD kelas 3 atau 4 : perlu mengenali bagian-bagian anggota tubuh serta fungsinya, mengetahui bagian tubuh yang pribadi atau private (bagian tubuh yg ditutupi pakaian dalam dan juga bagian mulut) yang tidak boleh disentuh atau diperlihatkan kepada sembarang orang, kemudian ajarkan sentuhan aman dan tidak aman. Sentuhan aman yang dimaksud adalah yang bertujuan membuat sehat dan bersih, seperti ketika diperiksa dokter. Selain itu menghargai tubuh dengan berani berkata tidak ketika ada yg memaksa melakukan sentuhan tidak aman pada bagian tubuh pribadi (private)
- Pada anak usia pra remaja dan remaja : perlu ditambahkan tentang edukasi mengenai perubahan-perubahan yang akan atau telah dialami ketika pubertas, mulai dari perubahan fisik hormonal sampai perubahan psikologis seperti adanya dorongan seksual, emosi yang fluktuatif, dan sebagainya. Selain itu, terbukalah akan hal-hal khusus yang menjadi perhatian atau masalah pada remaja sehingga remaja dapat berdiskusi dengan orang yang tepat.
Terkadang orang tua merasa canggung untuk membicarakan hal hal yang berbau sex education kepada anak, memberikan buku yang mengajarkan sex education juga bisa menjadi sarana bagi para orang tua, seperti buku yang berjudul ‘Ngobrol Soal Tubuh dan Seksualitas’ oleh Kristi Poerwandani dan Habsjah.
- Pengawasan akses sosial media pada anak
Sebaiknya anak-anak tidak diberikan akses ke sosial media hingga usianya cukup matang secara emosi. Penggunaan gadget
untuk akses ke sosial media juga harus diawasi dan kalaupun dilakukan,
orang tua harus punya akses juga ke sosial media anaknya.
- Bangun komunikasi dan relasi yang hangat dengan anak
Orang
tua perlu membangun komunikasi dan relasi yang hangat dengan anak agar
anak mau terbuka menceritakan segala kejadian yang menimpanya. Orang tua
juga perlu berdiskusi dengan anak mengenai pergaulan anak, maraknya
informasi dan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Tujuannya agar
anak tidak segan dan tidak malu bertanya kepada orang tua, terutama
terkait dengan isu seksualitasnya. Akan lebih baik bila anak bertanya
kepada orang tuanya daripada bertanya kepada teman atau mencari tahu di
internet yang tidak jelas sumber kebenarannya.
- Bimbing dan ketahui aktivitas yang anak lakukan, arahkan anak pada kegiatan positif dengan lingkungan yang membawa pengaruh baik bagi anak
Orang
tua perlu mengetahui aktivitas keseharian yang dilakukan anak. Arahkan
anak untuk mengikuti kegiatan positif yang berguna bagi dirinya,
misalnya mengikuti kegiatan ekstrakulikuler seni, olahraga serta
kegiatan organisasi ataupun komunitas yang sesuai dengan hobi.
Narasumber :
- Sinta Mira, M.Psi, Psikolog Klinis Dewasa di Klinik Pelangi
- Gisella Tani Pratiwi, M.Psi, Psikolog Klinis Dewasa di Klinik Pelangi
Sumber Referensi:
DSM-5 (Diagnostic and Statistic Manual edisi kelima). (2013). Arlington, USA : American
Psychiatric Association.
PAI (Proklamasi Anak Indonesia). (2017). Artikel Siaran Pers: Hentikan Penyebutan Pedofil
Untuk Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Indonesia : Jakarta.
Poerwandani, K. dan Habsjah, A. (2006). Buku ‘Ngobrol Soal Tubuh dan Seksualitas’.
Jakarta : Penerbit Program Kajian Wanita Program Pascasarjana UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar