Minggu, 02 April 2017

PEDOFILIA DAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

 
ditulis oleh
Widad Zahra Adiba
Mahasiswa Psikologi Universitas Johannes-Gutenberg Mainz, Jerman
yang saat ini sedang internship di Klinik Pelangi

Kabar terbaru belakangan ini yang cukup memprihatinkan, terutama bagi para orang tua adalah ditemukan akun grup Facebook bernama Loly Candy Official  yang memuat kurang lebih 600 foto dan video ponografi anak usia di bawah umur. Karena korbannya adalah anak anak, banyak orang yang salah kaprah mengatakan bahwa pemilik dan anggota Akun FB tersebut adalah ‘Pedofil’. Nyatanya, tidak semua pelaku kekerasan terhadap anak adalah penderita Pedofilia.

Untuk mengetahui apakah sesorang penderita Pedofilia atau tidak, membutuhkan waktu yang tidak singkat dan hanya dapat dilakukan oleh psikiater forensik. Dikutip dari  siaran pers PAI (Proklamasi Anak Indonesia) oleh Mamik Sri Supatmi, Dosen Kriminologi UI, “Mendefinisikan pelaku kejahatan seksual pada anak sebagai Pedofil dan pendefinisian Pedofil terhadap tersangka akun Grup FB Loly Candy tanpa pemeriksaan medis tidak dibenarkan dan dikhawatirkan menimbulkan masalah baru”. Potensi meringankan atau menghapus kesalahan orang dengan penyakit jiwa dapat ditemukan pada peraturan Undang-Undang Hukum, pasal 44 KUHP sehingga menyebut pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai Pedofilia berpotensi untuk digunakan sebagai alasan pemaaf bagi para pelaku. Oleh karena itu, sebaiknya penyebutan Pedofilia dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual diganti dengan sebutan pelaku kekerasan seksual anak.

Apa itu sebenarnya Pedofilia? Menurut Diagnostic and Statistic Manual edisi kelima (DSM-5), Pedofilia merupakan salah satu bentuk gangguan Parafilia atau preferensi seksual yang tidak lazim, seperti ketertarikan seksual berupa fantasi seksual, dorongan seksual, dan perilaku seksual yang melibatkan aktivitas seksual pada anak-anak pra-puber. “Secara fisik memang penderita Pedofilia tidak terlihat berbeda. Namun secara psikologis, Pedofil mengalami arouse atau rangsangan terhadap anak-anak. Jadi biasanya mereka senang mengamati anak-anak, senang melihat gambar atau foto anak-anak, terlihat senang berinteraksi atau berada di sekitar anak-anak, dsb. Namun itu semua bertujuan untuk kepuasan seksual penderita Pedofilia. Karena adanya masalah orientasi seksual, Pedofil juga biasanya mengalami masalah dalam sosialisasi dengan orang yang sebaya atau dengan lingkungan secara umum. Ia bisa menjadi seorang yang penyendiri, terlihat tertutup, dan biasanya tidak aktif secara sosial. Membantu seorang pelaku Pedofilia untuk memiliki kemampuan sosial yang memadai adalah salah satu bentuk terapi untuk memulihkan gangguan Parafilia ini”, jelas Sinta Mira M.Psi, selaku Psikolog Klinis Dewasa dari Klinik Pelangi. Jika ditemukannya kesamaan pada ciri-ciri Pedofilia di atas, disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke Psikiatri, Psikolog, atau bisa konsultasi lebih lanjut di Klinik Pelangi di Kota Wisata Cibubur.
Lalu bagaimana cara penanganan penderita Pedofilia? “Penanganannya cukup kompleks karena biasanya para penderita Parafilia tidak mencari bantuan untuk gangguannya. Penanganan pada akhirnya ‘dipaksakan’ karena ia tertangkap dalam kasus kekerasan seksualnya. Treatment atau intervensi penanganan Pedofilia bisa secara biologis maupun psikologis“,  tambah Psikolog Sinta.
“Secara psikologis bisa dilakukan dengan terapi modifikasi perilaku. Contohnya dengan aversion therapy yang bertujuan menghilangkan respon seksual terhadap objek atau situasi yang membuat penderita terangsang secara seksual. Tekniknya adalah dengan memberikan exposure yang tidak mengenakkan, bisa dengan suara keras atau setrum listrik dalam kadar aman saat penderita melihat gambar atau subjek yang merangsang baginya”.
“Prosedur desensitization untuk mengurangi rasa cemas juga bisa dilakukan pada penderita. Misalnya penderita diajarkan teknik relaksasi sambil perlahan membangun visualisasi relasi seksual yang normal dengan sesama orang dewasa. Terapi kognitif juga bisa dilakukan bersamaan dengan terapi perilaku, untuk membantu penderita belajar teknik sosialisasi yang bisa diterima lingkungan, tanpa melakukan hal-hal yang menyimpang secara seksual “.
Salah satu Psikolog Klinis Anak dari Klinik Pelangi, Gisella Tani Pratiwi, M.Psi menjelaskan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual anak (KSA) menyebabkan masyarakat sekarang semakin sadar bahwa kekerasan seksual adalah bentuk kriminalitas yang melanggar hukum. Kesadaran tersebut baik karena diharapkan dapat meminimalisir kasus KSA.  Psikolog yang biasa disapa Ella ini yakin bahwa masih banyak kasus kekerasan seksual anak yang belum terungkap karena masih dianggap tabu dan memalukan. Menurutnya, kemampuan negara untuk mencegah dan menangani kasus KSA masih sangat minim dan kurang baik. Oleh sebab itu, banyak pekerjaan yang perlu dilakukan bersama-sama untuk menangani KSA secara menyeluruh. Hal ini juga diakui oleh psikolog Sinta bahwa jumlah anak-anak korban kekerasan seksual pada kasus waktu lalu tersebut sangat banyak dan juga sangat memprihatinkan. “Fenomena ini seperti gunung es, dimana pastinya banyak sekali hal yang harus dibereskan dari dasarnya, terutama dalam penanganan para korban, penanganan para pelaku, penanganan para ‘penikmat’ video di grup FB tersebut, dan juga memberikan edukasi bagi para orang tua korban. Banyak sekali masalah yang harus dibereskan dari kasus ini”, tegas psikolog Sinta.
Tentu  kasus ini juga membuat orang tua was-was akan sang buah hati. Lalu apa saja hal yang bisa dilakukan orang tua untuk melindungi buah hatinya dari kekerasan seksual? Berikut ini adalah tips dari psikolog Sinta dan psikolog Ella :
  1. Pengawasan yang cukup pada anak
Disarankan orang tua perlu memiliki pengawasan yang cukup ketat pada anaknya. Ketat dalam artian orang tua harus mengetahui dengan siapa saja anak berinteraksi setiap harinya. Pelaku kekerasan seksual bisa mendekati anak dengan cara-cara yang tersamar sehingga seringkali orang tua kurang waspada. Kerjasama dengan pihak sekolah, pengasuh, dan mereka yang berinteraksi dengan anak sehari-hari, harus terjalin dengan baik sehingga meskipun orang tua bekerja, orang tua masih  bisa mengawasi anak terus-menerus lewat bantuan pengawasan orang-orang terdekat.
  1. Berikan pengetahuan sex education pada anak sejak dini
Orang tua harus membekali anak dengan pengetahuan tentang sex education sejak dini, tetapi tentunya pilih yang sesuai dengan taraf kematangan anak. Saat ini banyak buku dan media ajar bagi anak untuk memberikan pemahaman mengenai sex education yang sesuai untuk tahapan usia anak. Misalnya mengajarkan anak untuk bisa menolak dengan tegas kalau ada orang lain yang ingin menyentuhnya di bagian tubuh yang tertutup pakaian dalam, dan lainnya. Berikut adalah panduan mengenai hal ini :
  • Pada anak usia TK sampai SD  kelas 3 atau 4 : perlu mengenali bagian-bagian anggota tubuh serta fungsinya,  mengetahui bagian tubuh yang pribadi atau private (bagian tubuh yg ditutupi pakaian dalam dan juga bagian mulut) yang tidak boleh disentuh atau diperlihatkan kepada  sembarang orang, kemudian ajarkan sentuhan aman dan tidak aman. Sentuhan aman  yang dimaksud adalah yang  bertujuan membuat  sehat dan bersih, seperti ketika diperiksa dokter. Selain itu menghargai tubuh dengan berani berkata tidak ketika ada yg memaksa melakukan sentuhan tidak aman pada bagian tubuh pribadi (private)
  • Pada anak usia pra remaja dan remaja : perlu ditambahkan tentang edukasi   mengenai perubahan-perubahan yang akan atau telah dialami ketika pubertas, mulai dari perubahan fisik hormonal sampai perubahan  psikologis seperti adanya dorongan seksual, emosi yang fluktuatif, dan sebagainya.  Selain itu, terbukalah akan hal-hal khusus yang  menjadi perhatian atau masalah pada remaja  sehingga remaja  dapat berdiskusi dengan orang yang tepat.
Terkadang orang tua merasa canggung untuk membicarakan hal hal yang berbau sex education kepada anak, memberikan buku yang mengajarkan sex education juga bisa menjadi sarana bagi para orang tua, seperti buku yang berjudul ‘Ngobrol Soal Tubuh dan Seksualitas’ oleh Kristi Poerwandani dan Habsjah.
  1. Pengawasan akses sosial media pada anak
Sebaiknya anak-anak tidak diberikan akses ke sosial media hingga usianya cukup matang secara emosi. Penggunaan gadget untuk akses ke sosial media juga harus diawasi dan kalaupun dilakukan, orang tua harus punya akses juga ke sosial media anaknya.
  1. Bangun komunikasi dan relasi yang hangat dengan anak
Orang tua perlu membangun komunikasi dan relasi yang hangat dengan anak agar anak mau terbuka menceritakan segala kejadian yang menimpanya. Orang tua juga perlu berdiskusi dengan anak mengenai pergaulan anak, maraknya informasi dan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini. Tujuannya agar anak tidak segan dan tidak malu bertanya kepada orang tua, terutama terkait dengan isu seksualitasnya. Akan lebih baik bila anak bertanya kepada orang tuanya daripada bertanya kepada teman atau mencari tahu di internet yang tidak jelas sumber kebenarannya.
  1. Bimbing dan ketahui aktivitas yang anak lakukan, arahkan anak pada kegiatan positif  dengan  lingkungan yang membawa pengaruh baik bagi anak
Orang tua perlu mengetahui aktivitas keseharian yang dilakukan anak. Arahkan anak untuk mengikuti kegiatan positif yang berguna bagi dirinya, misalnya mengikuti kegiatan ekstrakulikuler seni, olahraga serta kegiatan organisasi ataupun komunitas yang sesuai dengan hobi.


Narasumber :
  • Sinta Mira, M.Psi, Psikolog Klinis Dewasa di Klinik Pelangi
http://klinikpelangi.com
      http://klinikpelangi.com

Sumber Referensi:
DSM-5 (Diagnostic and Statistic Manual edisi kelima). (2013). Arlington, USA : American
Psychiatric Association.
PAI (Proklamasi Anak Indonesia). (2017). Artikel Siaran Pers: Hentikan Penyebutan Pedofil
Untuk Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Indonesia : Jakarta.
Poerwandani, K. dan Habsjah, A. (2006). Buku ‘Ngobrol Soal Tubuh dan Seksualitas’.
Jakarta : Penerbit Program Kajian Wanita Program Pascasarjana UI
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar